Laporan
Pendahuluan
<script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({
google_ad_client: "ca-pub-4788782722398168",
enable_page_level_ads: true
});
</script>
DEFISIT PERAWATAN DIRI
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({
google_ad_client: "ca-pub-4788782722398168",
enable_page_level_ads: true
});
</script>
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A.
DEFINISI
Defisit perawatan diri
merupakan suatu keadaan dalam seseorang mengalami gangguan dalam maupun luar/melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan dari semua mandiri
(Towshend, 1998). Defisit perawatan diri adalah keadaan dimana individu
mengalami kegagalan kemampuan untuk melaksanakan atau menyelesaikan aktifitas
kebersihan diri (Carpenito, 1997). Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan
dimana individual mengalami suatu gangguan fungsi motorik atau fungsi kognitif
yang menyebabkan penurunan kemampuan/melakukan masing-masing dari kelima
aktivitas perawatan diri (Carpenito, 2000).
Data yang di peroleh
pada klien dengan gangguan / defisif
perawatan diri antara lain : kurang mandi, meliputi: membasuh keseluruh tubuh,
menyisir rambut, menggosok gigi, melakukan perawatan, kuku dan kulit (serta
menggunakan tata rias). Tidak ada keinginan–keinginan untuk membasuh tubuh atau
bagian-bagian tubuh, tidak mendapatkan sumber air, tidak mampu/ mengerti tentang
teknik atau tata kebersihan diri. Akibatnya dapat menyebabkan, gatal-gatal,
penyakit kulit, dan lain-lain. Perawatan diri mencakup aktivitas-aktivitas yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (actifity daily living)
yang meliputi kebutuhan makan, mandi/hiegine, berpakaian/berhias, toiletting
dan kebutuhan instrumental.
Faktor- faktor yang mempengaruhi
terjadinya perawatan diri kurang yaitu :
1.
Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan klien sehingga terganggunya perkembangan inisiatif dan ketrampilan
2.
Biologis
Penyakit kronis
yang menyebabkan klien
tidak mampu melakukan perawatan diri
3.
Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan
dari lingkungannya
B.
PSIKOPATOLOGI
Defisit perawatan diri
dapat terjadi karena individu mengalami gangguan fungsi motorik atau kognitif
yang menyebabkan penurunan kemampuan yang melakukan fungsi aktivitas perawatan
diri sehingga masalah keperawatan ini dapat muncul pada hampir semua masalah
kejiwaan.
Defisit perawatan diri
pada pasien gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga
kemampuan yang melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Defisit perawatan
diri tanpak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri,
berhias secara mandiri dan toiletting (BAB/BAK) secara mandiri.
Defisit perawatan diri
dapat mengakibatkan individu mengalami gangguan keseimbangan cairan tubuh,
menderita penyakit fisik karena kurang / tidak bersih, hubungan sosisl semakin
buruk, tidak berhubungan dengan orang lain selama tidak melakukan ADL dan pada
akhirnya semakin memperburuk kondisi kepribadian
C.
TANDA DAN GEJALA
1.
Gangguan kebersihan diri , meliputi
rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki
dan bau, kuku panjang dan kotor.
2.
Ketidak mampuan berhias /berdandan
rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tak rapi, pakaian tak sesuai, pada pasien
laki-laki tak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
3.
Ketidakmampuan mandiri ; ketidakmampuan
mengambil makan sendiri, makan bercercer dan tidak makan pada tempatnya.
4.
Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.
D.
PENGKAJIAN DEFISIT PERAWATAN
DIRI
Pengkajian pada pasien defisit
perawatan diri dengan menggunakan
rentang skore 1 – 30 skala Respon
Umum Fungsi Adaptif ( RUFA ), dimana pengkajian tersebut terbagi dalam 3
kelompok berdasarkan skala RUFA yaitu :
Skore 01 – 10 : 1. Fisik
: kulit gatal-gatal, luka garukan, BB meningkat/ menurun, penampilan dekil, berdaki, kuku panjang, gigi kotor,
tidak mau berhias, rambut acak-acakan, tidak mau menyisir rambut, penampilan
tidak rapih, bau
2. Motorik : badan kaku, lesu, gerakan lambat, gerakan involunter,
diam. imobilisasi
3. Kognitif : menolak : mandi, makan, minum,
curiga, tidak ada keinginan untuk ke km. mandi, tidak ada motivasi,
4.
Perilaku : tidak mau BAB dan
BAK di kamar mandi, tidak mau menyiram bekas BAB/BAK,makan tidak cuci tangan
Skore 11 – 20 : 1. Fisik : kulit
gatal-gatal, luka garukan, BB meningkat/ menurun, tidak mau berhias, akan, tidak mau menyisir rambut,
penampilan tidak rapih,
2. Motorik : badan kaku, lesu, gerakan lambat, gerakan involunter,
diam. imobilisasi
3. Kognitif : menolak :
mandi, makan, minum, curiga, tidak ada keinginan untuk ke km. mandi, tidak ada
motivasi,
4. Perilaku : tidak mau BAB dan BAK di kamar mandi,
tidak mau menyiram bekas BAB/BAK,makan tidak cuci tangan
Skore 21 – 30 : 1. Fisik
: BB meningkat/menurun, , tidak mau berhias
2. Motorik : Gerakan lambat, gerakan involunter,
imobilisasi
3. Kognitif :
menolak : mandi, makan, minum, curiga, tidak ada keinginan untuk ke km. mandi,
tidak ada motivasi,
4.
Perilaku : tidak mau menyiram
bekas BAB/BAK,
Hasil dari pengkajian akan
menentukan tindakan keperawatan yang akan diberikan terhadap klien, Bentuk
tindakan keperawatan berdasarkan 3 katagori Yaitu
1.
RUFA 01 – 10
masuk dengan katagori intsensif 1
2.
RUFA 11 – 20
masuk dengan katagori intensif 2
3.
RUFA 21 – 30
masuk dengan katagori intensif 3
E.
TREATMENT
1.
Tindakan Keperawatan
Tujuan
Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
a.
Klien mampu melakukan berhias /
berdandan secara baik
b.
Klien mampu melakukan makan dengan baik
c.
Klien melakukan BAB/BAK secara mandiri
Tindakan Keparawatan
a.
Melatih pasien cara-cara perawatan
kebersihan diri
b.
Melatih pasien mendandan / berhias
Untuk pasien laki-laki latihannya
meliputi:
1)
Berpakaian
2)
Menyisir Rambut
3)
Bercukur
Untuk paien Wanita, Pelatihannya:
4)
Berpakaian
5)
Menyisir rambut
6)
Berhias
c.
Melatih Pasien makan secara mandiri
d.
Mengajakan pasien malekukan BAB/BAK
secara mandiri.
2.
Peran Serta Keluarga
a.
Meningkatkan
kesadaran dan percaya diri klien
1) Bina hubungan saling percaya
2) Bicarakan tentang pentingnya kebersihan diri
3) Kuatkan kemampuan klien merawat diri
b. Membimbing dan mendorong klien merawat diri :
1) Bantu klien merawat diri. Ajarkan ketrampilan secara
bertahap.
2) Buat jadwal kegiatan setiap hari
3)
Ingatkan kegiatan harian
c.
Beri pujian tiap
kegiatan yang positif
Laporan
Pendahuluan
HALUSINASI
A.
PENGERTIAN
Halusinasi adalah
pencerapan tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang klien, yang
terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya mungkin organic, fungsional,
psikotik, ataupun histerik (Maramis, 1994). Halusinasi adalah suatu persepsi
terhadap rangsangan eksternal tanpa adanya stimulus. Hal ini meliputi berbagai
panca indera seperti : penglihatan, pendengaran, bau, rasa dan raba. Halusinasi
diartikan sebagai gangguan yang dapat terjadi karena dasar organic, contohnya :
delirium, demensia, intoksikasi atau gangguan mental organic. Namun dapat juga
terjadi karena dasar organic seperti schizophrenia (Rawlins and Heacock, 1993).
Halusinasi merupakan suatu peristiwa pada
satu atau beberapa pikiran sehat, tapi berhubungan dengan halusinasi pendengaran
merupakan hal yang luar biasa, dimana perawatan tergantung pada faktor
kausatif, selain itu halusinasi merupakan gejala yang khas yang terdapat pada
schizophrenia paranoid (Fortinash and Worrect, 1991).
Halusinasi adalah salah
satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sesori persepsi;
merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau
penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebedarnya tidak ada. Klien merasa
suara padahal tidak ada stimulus suara. Melihat bayangan orang atau sesuatu
yang menakutkan padahal tidak ada bayangan tersebut. Membaui bau-bauan tertentu
padahal oranglain tidak merasakan sensasi serupa. Merasakan mengecap sesuatu
padahal tidak sedang makan apapun merasakan sensasi rabaan padahal tidak ada
apapun dalam permukaan kulit.
Halusinasi adalah
gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar
yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat
kesadaran individu itu baik/ sadar penuh (Stuard dan Sundeen, 1998). Halusinasi merupakan bentuk gangguan persepsi yang paling sering terjadi
pada pasien gangguan jiwa. Pasien dengan halusinasi dapat kehilangan kontrol
dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak
lingkungan. Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai ke fase IV, di mana pasien mengalami
panik karena dikontrol oleh isi halusinasinya, sehingga ketika ada sedikit saja
stimulus dari luar pasien mudah sekali melakukan tindakan kekerasan. Pasien
juga sulit menerima informasi dari lingkungan eksternal. Hal ini memungkinkan
seluruh perilakunya dikendalikan oleh isi halusinasinya. Pasien benar-benar
kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini
pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homocide),
bahkan merusak lingkungan. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu pencerapan
pancaindra tanpa ada rangsangan dari luar.Pasien merasakan berupa suara, penglihatan, pengecapan ,
perabaan atau penghiduan (Lubis, 1995).
Pada keadaan akut
pasien dapat kehilangan kontrol diri, kepanikan terhadap perilaku yang
dikendalikan oleh halusinasinya sehingga pasien berisiko melakukan kekerasan
kepada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Contoh yang sering adalah
tindak kekerasan sampai membunuh, bunuh diri, mutilasi diri, tidak mampu
mengambil keputusan, dan mengabaikan diri sendiri yang berat.
B.
PENYEBAB
Halusinasi dapat
terjadi pada pasien dengan gangguan jiwa seperti skizofrenia, depresi atau
keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan
alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi dapat juga terjadi pada pasien dengan
epilepsi, kondisi infeksi sistemik
dengan gangguan metabolik, atau dapat juga sebagai efek samping dari berbagai
pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan
antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya
halusinasi sama seperti pemberian obat
di atas. Penyebab halusinasi secara
spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti
faktor biologis, psikologis, sosial budaya dan stessor pencetusnya adalah
stresor lingkungan, biologis, masalah sumber-sumber koping dan mekanisme
koping.
C.
RENTANG RESPON
Respons persepsi
individu berada dalam rentang. Respon adaptif ditandai dengan persepsi yang
realistis, sementara gangguan persepsi dapat terjadi dalam bentuk ilusi (salah
mempersepsikan stimulus) atau respon yang paling maladaptif adalah halusinasi.
Rentang respons tersebut tergambar sbb:
Respon
Adaptif
Respon Maladaptif
I-------------------------------------------I------------------------------------------I
Persepsi akurat Ilusi
Halusinasi
Rentang respon Neurobiologi (Stuart
dan Laraia, 2001 hal. 403)
D.
TAHAPAN HALUSINASI
Halusinasi yang dialami oleh klien
bisa berbeda intensitas dan keparahannya. Stuart dan Lairia (2001) membagi fase
halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan
pasien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, pasien semakin
berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya, sehingga
pada rentang respon maladaftif (halusinasi) khususnya pada fase 4 memerlukan
perawatan intensif karena pasien sama sekali kehilangan kontrol dirinya,
perilaku dikendalikan oleh halusinasi sehingga berisiko tinggi melakukan
homicide atau suicide
1.
Tahap I (Conforting)
a.
Memberikan rasa nyaman
b.
Tingkat ansietas sedang.
c.
Secara umum halusinasi merupakan suatu
kesenangan
d.
Karakteristik
1)
Mengalami ansietas, kesepian, rasa
bersalah, dan ketakutan
2)
Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat
menghilangkan ansietas
3)
Pikiran dan pengalaman sensori masih ada
dalam kontrol kesadaran non psikotik
e.
Prilaku klien
1)
Tersenyum, tertawa sendiri
2)
Menggerakkan bibir tanpa suara
3)
Pergerakan mata yang cepat
4)
Respon verbal yang lambat
5)
Diam dan berkonsentrasi
2.
Tahap II (Comdemning)
a.
Menyalahkan
b.
Tingkat kecemasan berat
c.
Secara umum halusinasi menyebabkan rasa
antipati
d.
Karakteristik
1)
Pengalaman sensori menakutkan
2)
Merasa dilecehkan oleh pengalaman
sensori tersebut
3)
Mulai merasa kehilangan kontrol
4)
Menarik diri dari orang lain, non
psikotik
e.
Prilaku klien
1)
Terjadi peningkatan denyut jantung,
pernafasan dan tekanan darah
2)
Perhatian dengan lingkungan berkurang
3)
Konsentrasi terhadap pengalaman
sensorinya
4)
Kehilangan kemampuan membedakan
halusinasi dengan realitas
3.
Tahap III ( Controling)
a.
Mengontrol
b.
Tingkat kecemasan berat
c.
Pengalaman halusinasi tidak dapat
ditolak lagi
d.
Karakteristik
1)
Klien menyerah dan menerima pengalaman
sensorinya (halusinasi)
2)
Isi halusinasi menjadi atraktif
3)
Kesepian bila pengalaman sensori
berakhir, spikotik
e.
Prilaku klien
1)
Prilaku halusinasi ditaati
2)
Sulit berhubungan dengan orang lain
3)
Perhatian terhadap lingkungan berkurang,
hanya beberapa detik
4)
Tidak mampu mengikuti perintah dari
perawat, tampak tremor dan berkeringat
4.
Tahap IV (Conquering)
a.
Klien sudah dikuasai oleh halusinasi
b.
Klien panik
c.
Prilaku klien
1)
Prilaku panik
2)
Resiko tinggi menciderai
3)
Agitasi atau kataton
4)
Tidak mampu berespon terhadap lingkungan
E.
PROSES KEPERAWATAN PADA KLIEN
HALUSINASI
1.
Pengkajian hubungan saling percaya
dengan klien
Pengkajian pada pasien halusinasi di ruang UPIP difokuskan pada halusinasi yang
membahayakan diri,orang lain dan lingkungan dengan menggunakan Skala Respons
Umum Fungsi Adaptif (RUFA) dengan
rentang skore 1 – 30, dimana pengkajian tersebut terbagi dalam 3
kelompok berdasarkan skala RUFA yaitu :
Domain
|
RUFA 1-10
|
RUFA 11-20
|
RUFA 21-30
|
Pikiran
|
Tak berdaya, dikuasai halusinasi
|
Masih tak berdaya
|
Mulai bisa mengontrol diri, masih mengalami halusinasi tetapi mulai bisa
mengontrol perilakunya
|
Afek
|
Sangat labil tergantung pada halusinasi
|
Kadang masih labil
|
Labil hanya jika halusinasi muncul
|
Tindakan
|
ü Perilaku
terteror semacam panik.
ü Risiko
tinggi bunuh diri atau membunuh orang lain.
ü Aktivitas
fisik merefleksikan halusinasi (kekerasan, agitasi, menarik diri, katatonia)
ü Tak
mampu berespon thd perintah yang kompleks
ü Tak
mampu berespon terhadap lebih dari satu orang
ü Tidak
mampu membedakan yang nyata dan yang tidak nyata
|
ü Perilaku
lebih dikendalikan oleh isi halusinasi.
ü Kesulitan
berhubungan dengan orang lain.
ü Rentang
perhatian hanya beberapa detik atau menit.
ü Gejala
fisik seperti ansietas berat (keringat dingin, tremor, tak mampu mengikuti
perintah).
|
ü Meningkatnya
tanda-tanda sistem syaraf terhadap ansietas: meningkatnya denyut jantung,
pernafasan, dan tekanan darah).
ü Perhatian
mulai sedikit menyempit.
ü Asyik
dengan pengalaman sensori dan belum mampu membedakan halusinasi dan kenyataan
|
2.
Tindakan Keperawatan Intensif
pada Pasien Halusinasi
Hasil dari pengkajian akan
menentukan tindakan keperawatan yang akan diberikan terhadap pasien, yang
dibagi dalam 3 kategori yaitu:
·
RUFA
01 – 10 mendapatkan tindakan
intensif 1
·
RUFA
11 – 20 mendapatkan tindakan
intensif 2
·
RUFA
21 – 30 mendapatkan tindakan
intensif 3
Tindakan pertama dalam
melakukan pengkajian klien dengan halusinasi adalah membina hubungan saling
percaya dengan klien. Untuk membina hubungan saling percaya dapat dilakukan
hal-hal berikut ini :
a.
Awali pertemuan
dengan selalu mengucapkan salam kepada klien. Bentuk salam bisa selamat
pagi/siang/malam atau sesuai dengan konteks agama klien.
b.
Berkenalan dengan klien. Perkenalkan
nama lengkap dan nama panggilan saudara termasuk juga memperkenalkan bahwa
saudara adalah perawat yang akan merawat klien. Saudara juga harus menanyakan
nama klien dan nama penggilan kesukaan klien.
c.
Buat kontak asuhan.
Jelaskan kepada klien tujuan saudara merawat klien, aktivitas apa yang akan
dilakukan untuk mencapai tujuan itu, kapan aktivitas akan dilaksanakan dan
berapa lama akan dilaksanakan aktivitas tersebut.
d.
Bersikap empati, empati adalah sikap
yang menunjukkan bahwa perawat bisa merasakan apa yang dirasakan klien. Untuk
klien halusinasi rasa empati dapat ditunjukkan dengan:
1)
Mendengarkan keluhan klien dengan penuh
perhatian
2)
Tidak membantah dan tidak menyokong
halusinasi klien
3)
Segera menolong klien jika membutuhkan
perawat.
3.
Mengkaji jenis halusinasi
Ada beberapa jenis
halusinasi pada klien gangguan jiwa. Kira-kira 70% halusinasi yang dialami oleh
klien gangguan jiwa adalah halusinasi suara, 20% halusinasi penglihatan, dan
10% adalah halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan. Mengkaji halusinasi
dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku dan menanyakan secara verbal apa
yang sedang dialami klien. Data objektifnya dapat dikaji dengan cara
mengobservasi perilaku klien, sedangkan data subjektif dapat dikaji dengan
melakukan wawancara dengan klien.
4.
Mengkaji Waktu, Frekuensi dan Situasi
Munculnya Halusinasi.
Perawat juga mengkaji
waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh klien. Hal
ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjaidnya halusinasi,
menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi. Sehingga klien tidak
larut dalam halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi
dapat direncanakan frekuensi untuk mencegah terjadinya halusinasi.
5.
Mengkaji Respon Terhadap Halusinasi.
Untuk mengetahui dampak
halusinasi pada klien dan apa respon klien ketika halusinasi itu muncul perawat
dapat menanyakan pada klien hal yang dirasakan atau dilakukan pada saat
halusinasi muncul. Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang
terdekat dengan klien. Selain itu dapat juga dengan mengobservasi dampak
halusinasi pada klien jika halusinasi timbul.
6.
Mendokumentasikan Data Halusinasi
Pada format pengkajian
kesehatan jiwa di sub pengkajian persepsi dapat dituliskan:
a.
Jenis halusinasi: pendengaran /
penglihatan / pengecapan, dan sebagainya.
b.
Isi halusinasi
c.
Waktu terjadinya halusinasi
d.
Frekuensi terjadinya halusinasi
e.
Situasi yang menyebabkan munculknya
halusinasi
f.
Respon halusinasi
F.
TINDAKAN KEPERAWATAN KLIEN
HALUSINASI
1.
Tujuan tindakan untuk klien meliputi:
a.
Klien mengenali halusinasi yang
dialaminya
b.
Klien dapat mengontrol halusinasinya
c.
Klien mengkuti program pengobatan secara
optimal
2.
Tindakan Keperawatan
a.
Membantu klien mengenali halusinasi
Untuk membantu klien mengenali
halusinasi perawat dapat melakukan dengan cara berdiskusi dengan klien tentang
isi halusinasi (apa yang didengar / dilihat), waktu terjadinya halusinasi
muncul dan perasaan klien saat halusinasi muncul.
b.
Melatih klien mengontrol halusinasi
Untuk membantu klien
agar mampu mengontrol perawat dapat maltih empat cara yang sudah terbukti dapat
mengendalikan halusinasi. Keempat cara tersebut meliputi:
1)
Menghardik halusinasi
Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi
dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Klien dilatih untuk mengatakan
tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan diri dan tidak
mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada namun dengan
kemampuan ini klien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam
halusinasinya. Tahapan tindakan meliputi:
a)
Menjelaskan cara menghardik halusinasi
b)
Memperagakan cara menghardik
c)
Meminta klien memperagakan ulang
d)
Memantau penerapan cara ini, menguatkan
perilaku klien
2)
Bercakap-cakap dengan orang lain
Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan orang
lain. Ketika klien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi;
fokus perhatian klien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan
dengan orang lain tersebut. Sehingga salah satu cara yang efektif untuk
mengotrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain.
3)
Melakukan aktivitas yang terjadwal
Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi dengan menyibukkan diri
dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, klien
tidak akan mengalami banyak waktu luang seringkali mencetus-kan halusinasi.
Untuk itu klien yang mengalami halusinasi bisa dibantu untuk mengatasi
halusinasinya dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun tidur pagi
sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu. Tahapan intervensinya sebagai
berikut;
a)
Menjelaskan pentingnya aktivitas yang
teratur untuk mengatasi halusinasi
b)
Mendiskusikan aktivitas yang biasa
dilakukan klien
c)
Melatih klien melakukan aktivitas
d)
Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari
sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upayakan klien mengalami aktivitas
dari bangun pagi sampai tidur malam, 7 hari dalam seminggu.
e)
Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan;
memberikan penguatan terhadap perilaku klien yang positif.
4)
Menggunakan obat secara teratur
Untuk mampu mengontro0l
halusibasi klien juga harus dilatih untuk menggunakan obat secara teratur
sesuai dengan program. Klien gangguan jiwa yang dirawat dirumah seringkali
mengalami putus obat sehingga akibatnya klien mengalami kekambuhan. Bila
kekambuhan terjadi maka untuk mencapai kondisiseperti semula akan lebih sulit.
Untuk itu klien perlu dilatih menggunakan obat sesuai program dan
berkelanjutan. Berikut ini tindakan keperawatan agar klien patuh menggunakan
obat :
a)
Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada
gangguan jiwa
b)
Jelaskan akibat bila obat tidak
digunakan sesaui program
c)
Jelaskan akibat bila putus obat
d)
Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat
e)
Jelaskan cara menggunakan obat dengan
prinsip 5 benar (benar obat, benar klien, benar cara, benar waktu, benar dosis)
Jika klien mendapatkan
obat maka pengetahuan tentang cara pemberian obat, efek terapi, efek samping,
cara pemberian obat yang benar, dan tindakan keperawatan kepada klien perlu
dimiliki oleh perawat. Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik /
skizoprenia biasanya diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik
antara lain:
a)
Golongan butirofenon: haloperidol,
haldol, serence, ludomer. Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk
injeksi biasanya cukup 3 x 24 jam. Setelahnya klien bisanya diberikan obat
peroral 3 x 1,5 mg atau 3 x 5 mg.
b)
Golongan fenotiazin: chlorpromazin /
largactile / promagtile, biasanya diberikan peroral. Kondisi akut biasanya
diberikan 3 x 100 mg. Apabila kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1 x
100 mg pada malam hari saja.
Obat-obatan anti
psikotik seringkali menimbulkan efek samping mengantuk, tremor, mata melihat
keatas, kaku-kaku otot, otot bahu tertarik sebelah, hipersalivasi, pergerakan otot
tak terkendali. Untuk mengatasi ini biasanya dokter memberikan obat anti
paekinsonisme yaitu: tryhexypehenidile 3 x 2 mg.
Yang perlu sangat
diperhatikan. Apabila terjadi gejala-gejala yang dialami oleh klien tidak
berkurang maka perlu diteliti apakah betul-betul diminum atau tidak. Untuk itu
keluarga perlu juga dijelaskan tentang pentingnya memonitor penggunaan obat
oleh klien. Jika ada gejala-gejala yang tidak biasa minta kepada keluarga untuk
menghubungi puskesmas terdekat.
Laporan
Pendahuluan
PERILAKU KEKERASAN
A.
PENGERTIAN
Perilaku
kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang
secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang
lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu
saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan
(Keliat, 2006). Perilaku kekerasan adalah keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang membahayakan secara fisik baik kepada
diri sendiri maupun kepada orang lain (Towsed, 1998). Kekerasan sering juga
disebut sebagai gaduh gelisah/amuk. Perilaku kekerasan dapat ditandai dengan
menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata ancaman melukai, diserta melukai pada tingkat
ringan dan yang paling berat adalah melukai atau merusak secara serius (Keliat,
1998). Marah/perilaku kekerasan merupakan perasaan jengkel yang
timbul sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman. Penyebab dari marah tersebut adalah harga diri
rendah (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku
kekerasan adalah bentuk perilaku agresif fisik dan atau verbal yang
dapat melukai atau mencederai diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan. Jadi tindak kekerasan merupakan perilaku kekerasan
pada diri sendiri, orang lain, lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi
karena rasa curiga pada orang lain, halusinasi yang mengendalikan perilaku,
serta karena ada keinginan yang tidak terpenuhi (Keliat, 2008). Perilaku kekerasan merupakan perilaku yang ditampilkan oleh individu
berupa ancaman, kemarahan hingga menciderai diri sendiri dan orang lain. Pada
pasien dengan perilaku kekerasan individu tidak mampu mengontrol perilakunya
sendiri yang disebabkan oleh kehilangan kontrol realita baik proses pikir,
emosi, tingkah laku dan kemauannya (FKUI, 1997). Perilaku kekerasan yang terjadi pada pasien diawali dengan adanya
stressor yang menyebabkan kecemasan pada individu dan diperlihatkan melalui
respon marah. Pada individu yang cenderung konfrontasi atau rasa marah yang
tidak tersalurkanatau tidak selesai akan mengakibatkan rasa marah pada
lingkungannya atau orang lain sehingga individu menampilkan perilaku kekerasan
(FKUI, 1997). Perilaku kekerasan
merupakan keadaan dimana seseorang tidak
dapat mengontrol perilaku marahnya sehingga dieksprresikan dalam bentuk
mencederai diri sendiri, orang lain dan merusak lingkungan sehingga
membutuhkan tindakan yang segera. Kondisi pasien perilaku kekerasan saat dibawa ke rumah sakit
biasanya dalam keadaan diikat/ borgol dan sangat gaduh gelisah. Pasien dengan
perilaku tidak terkontrol atau perilaku kekerasan sangat membahayakan bagi pasien itu sendiri, orang lain serta
lingkungan dan membutuhkan penanganan
oleh Tim yang profesional serta membutuhkan terapi medikasi
B.
TANDA DAN GEJALA
Data perilaku
kekerasan dapat diperoleh melalui observasi atau wawancara tentang perilaku
berikut ini:
1.
Muka merah dan tegang
2.
Pandangan tajam
3.
Mengatupkan rahang
dengan kuat
4.
Mengepalkan tangan
5.
Jalan mondar-mandir
6.
Bicara kasar
7.
Suara tinggi, menjerit
atau berteriak
8.
Mengancam secara verbal
atau fisik
9.
Melempar atau memukul
benda/orang lain
10.
Merusak barang atau
benda
11.
Tidak mempunyai
kemampuan mencegah/mengontrol perilaku kekerasan.
12.
Sering memaksa kehendak
C.
RENTANG RESPON
Perilaku kekerasan merupakan ekspresi marah yang paling
maladaptif, tergambar dalam bentuk rentang respons sebagai berikut:
Gambar
1. Rentang Respon Perilaku Kekerasan
Respon adaptif Respon maladaptif
Asertif Prustasi Pasif Agresif Amuk
Keterangan
Asertif
: mampu menyatakan rasa marah
tanpa menyakiti orang lain
Frustasi : merasa gagal mencapai tujuan disebabkan
tujuan yang tidak realistis
Pasif : diam saja karena
merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang dialami
Agresif : Tindakan
destruktif terhadap lingkungan
yang masih terkontrol
Amuk : Tindakan destriktif,
permusuhan yang kuat & tidak terkontrol
D.
PSIKOPATOLOGI
Berbagai
pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi artinya
mungkin terjadi /tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami
oleh seseorang
1.
Faktor
predisposisi
Menurut Townsend, 1996 dalam fitria (2009)
terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang faktor predisposisi
perilaku kekerasan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Teori Biologik
1)
Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen
sistem neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
bermusuhan dan respon agresif.
2)
Pengauh biokimia, berbagai neurotransmiter
(epinefrin, norepinefrin, dopamin, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan
dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen
dan noreepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA pada cairan serebrospinal
merupakan faktor predisposisi penting penyebab timbulnya perilaku agresif pada
seseoarang.
3)
Pengaruh genetik, menurut penelitian
perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetik temasuk genetik tipe XYY,
yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal
(narapidana).
4)
Gangguan otak, sindrom otak organik
berhubungan dengan berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada
limbik dan lobus temporal trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan perilaku
kekerasan.
b.
Teori psikologik
1)
Teori psikoanalitik, menjelaskan bahwa tidak
tepenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri rendah.
2)
Teori pemnbelajaran, perilaku kekerasan
merupakan perilaku yang dipelajari, individu yang mempengaruhi biologik
terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contih peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
c.
Teori sosiokultural
Kontrol
masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai
penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya
perilaku kekerasan.
2.
Faktor
presipitasi
a.
Kondisi
pasien seperti kelemahan fisik, keutusasaan, ketidak berdayaan, dan kepercayaan
diri yang kurang
b.
Situasi
lingkungan seperti ribut/bising, padat, kritika yang mengarah pada penghinaan,
kehilangan orang yang di cintai, kehilangan pekerjaan.
c.
Interaksi
sosial yang provokatif dan konflik yang dapat pula memicu perilaku kekerasan
yang tidak diatasi/dikurangi maka dapat mengakibatkan pasien mencederai orang
lain/lingkungan/dirinya. Hal ini dapat ditandai oleh kerusakan barang yang ada
disekitar pasien seperti perabot rumah tangga dan pemukulan orang lain.
E.
Pengkajian
Pengkajian
pada pasien perilaku kekerasan di ruang
UPIP menggunakan rentang skore 1 – 30
skala Respon Umum Fungsi Adaptif ( RUFA ) dimana pengkajian tersebut terbagi dalam 3
kelompok berdasarkan skala RUFA yaitu :
Domain
|
Rufa 1-10
|
Rufa 11-20
|
Rufa 21-30
|
Pikiran
|
Orang lain jahat, mengancam, melecehkan
|
Orang lain jahat, mengancam, melecehkan
|
Orang lain jahat, mengancam, melecehkan
|
Perasaan
|
Labil,
mudah tersinggung, ekspressi tegang, marah- marah, dendam, merasa tidak aman.
|
Labil, mudah tersinggung, ekspressi tegang,dendam merasa tidak aman
|
Labil, mudah tersinggung, ekspressi tegang, merasa tidak aman
|
Tindakan
|
·
Melukai diri sendiri, orang lain, merusak lingkungan, mengamuk, menentang, mengancam, mata melotot
·
Bicara kasar, intonasi tinggi, menghina
orang lain, menuntut, berdebat
·
Muka merah, Pandangan
tajam, napas pendek, keringat (+),
tekanan darah meningkat
|
·
Menentang,
mengancam, mata melotot
·
Bicara kasar, Intonasi sedang, menghina
orang lain, menuntut, berdebat
·
Pandangan tajam, tekanan darah meningkat
|
·
Menentang Intonasi sedang, menghina orang
lain, berdebat
·
Pandangan tajam, tekanan darah menurun
|
Hasil dari pengkajian akan menentukan tindakan
keperawatan yang akan diberikan terhadap klien. Tindakan keperawatan dibagi dalam
3 kategori yaitu
· RUFA 01 – 10 masuk dalam tindakan intensif 1
· RUFA 11 – 20 masuk dalam tindakan intensif 2
· RUFA 21 – 30 masuk dalam tindakan intensif 3
F.
TINDAKAN KEPERAWATAN
1.
Tujuan
a.
Pasien dapat
mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b.
Pasien dapat
mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan
yang pernah dilakukannya
d.
Pasien dapat
menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
e.
Pasien dapat
menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya
f.
Pasien dapat mengontrol
perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi
psikofarmaka.
2.
Tindakan
a.
Bina hubungan saling
percaya
Dalam membina hubungan saling
percaya perlu dipertimbangkan agar pasien merasa aman dan nyaman saat
berinteraksi dengan saudara. Tindakan yang harus saudara lakukan dalam rangka
membina hubungan saling percaya adalah:
1)
Mengucapkan salam
terapeutik
2)
Berjabat tangan
3)
Menjelakan tujuan
interaksi
4) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat
setiap kali bertemu pasien
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku
kekerasan saat ini dan yang lalu
c.
Diskusikan perasaan
pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
d.
Diskusikan tanda dan
gejala perilaku kekerasan secara fisik,
psikologis, sosial, spiritual dan intelektual
e. Diskusikan bersama pasien perilaku yang biasa
dilakukan pada saat marah secara:
verbal, terhadap orang lain, terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan
f.
Diskusikan bersama
pasien akibat perilakunya
g.
Diskusikan bersama
pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara :
1)
Tarik napas
dalam,
2)
Pukul kasur /
batal,
3)
Social/verbal:
menyatakan secara asertif rasa marahnya dan
4)
Spiritual:
sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien serta
5)
Patuh minum obat
h.
Latih pasien mengontrol
perilaku kekerasan secara fisik: Latihan nafas dalam dan pukul kasur – bantal
i.
Susun jadwal latihan
dalam dan pukul kasur – bantal
j.
Latih pasien mengontrol
perilaku kekerasan secara sosial/verbal
k.
Latih mengungkapkan
rasa marah secara verbal: menolak dengan baik, meminta dengan baik,
mengungkapkan perasaan dengan baik
l.
Susun jadwal latihan
mengungkapkan marah secara verbal.
m.
Latih mengontrol
perilaku kekerasan secara spiritual:
n.
Latih mengontrol marah
secara spiritual: sholat, berdoa
o.
Buat jadwal latihan
sholat, berdoa
p.
Latih mengontrol
perilaku kekerasan dgn patuh minum obat:
q.
Latih pasien minum obat
secara teratur dengan prinsip lima benar (benar nama pasien, benar nama obat,
benar cara minum obat, benar waktu minum obat, dan benar dosis obat) disertai
penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat
r.
Susun jadwal minum obat
secara teratur
s.
Ikut sertakan pasien
dalam terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi mengontrol perilaku kekerasan
3.
Tindakan
Keperawatan Untuk Keluarga
a.
Tujuan : Keluarga dapat merawat pasien di rumah
b.
Tindakan
1)
Diskusikan bersama
keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang
muncul dan akibat dari perilaku tersebut)
2)
Latih keluarga merawat
pasien dengan perilaku kekerasan
3)
Anjurkan keluarga untuk
memotivasi pasien melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat
4)
Ajarkan keluarga untuk
memberikan pujian kepada pasien bila pasien dapt melakukan kegiatan tersebut
secara tepat
5)
Diskusikan bersama
keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien menunjukkan gejala-gejala
perilaku kekerasan
6)
Diskusikan bersama
keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera dilaporkan kepada perawat,
seperti melempar atau memukul benda/orang lain
G.
CARA KHUSUS YANG DAPAT DILAKUKAN
1.
Pasien berteriak, menjerit,
memukul
a.
Terima marah klien
b.
Arahkan klien untuk memukul barang yang
tidak mudah rusak (bantal, kasur)
c.
Setelah tenang diskusikan cara umum yang
sesuai
2.
Cari gara-gara
a.
Bantu klien latihan
relaksasi ( latihan fisik, olahraga )
b.
Latihan pernapasan 2
kali/hari, tiap kali sepuluh kali tarikan dan hembusan napas
3.
Marah melalui humor
a.
Jaga humor tidak
menyakiti orang lain
b.
Observasi ekspresi muka
orang yang menjadi sasaran
c.
Diskusi cara
umum yang sesuaI.
Laporan
Pendahuluan
WAHAM
A.
PENGERTIAN
Waham adalah kepercayaan yang salah
terhadap obyek dan tidak konsisten
dengan latar belakang intelektual dan budaya (Rawlin,1993). Waham adalah
keyakinan seseorang berdasarkan penilaian realitas yang salah, keyakinan klien,
ketidakmampuan memproses stimulus internal dan eksternal melalui proses
informasi secara akurat dapat menimbulkan waham, yakni waham agama, kebesaran,
samatik, curiga/dan nihilistik (Keliat,1998).
Delusi (waham) merupakan salah satu
respons maladaptif pada rentang respons neurobiologi. Saat individu berada pada
rentang respons adaptif, maka individu tersebut dapat berpikir secara logis.
Namun jika individu berada pada rentang respons maladaptif, maka terjadi
distorsi pikiran dan gangguan pikir. Delusi adalah suatu keyakinan yang salah
yang dipertahankan secara kuat/terusmenerus namun tidak sesuai dengan
kenyataan. Pasien dengan gangguan pikir/delusi mengalami masalah dalam fungsi
kognitif, khususnya isi pikir (thought content). Individu mengalami
ketidakmampuan dalam memproses data di otak secara akurat sehingga mengakibatkan
timbulnya waham curiga, kebesaran, agama, nihilistik, dan somatik. Kondisi
delusi dapat menyebabkan individu mengalami gangguan dalam menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Bahkan jika orang lain memberikan argumentasi
dan tidak menerima waham pasien, maka pasien mungkin akan tidak senang dan
akhirnya marah. Keadaan seperti ini memungkinkan seluruh perilakunya akan
dikendalikan oleh isi pikirnya yang tidak tepat. Pasien benar-benar kehilangan
kemampuan melakukan penilaian realitas terhadap lingkungan (Keliat, 2008).
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang
salah dan tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut mungkin “aneh”
(misal, mata saya adalah komputer yang dapat mengontrol dunia) atau bisa pula
“tidak aneh” hanya sangat tidak mungkin, misal, “FBI mengikuti saya”) dan tetap
dipertahankan meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk
mengoreksinya. waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa
bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizofrenia. semakin akut
psikosis semakin sering ditemui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis.
Waham merupakan keyakinan seseorang berdasarkan penelitian
realistis yang salah, keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya (Keliat, BA, 1998). Waham adalah
keinginan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan
ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan control (Depkes RI,
2000).
Waham dibangun atas unsur-unsur yang tidak
berdasarkan logika, individu tidak mau melepaskan wahamnya, walaupun telah
tersedia cukup bukti-bukti yang objektif tentang kebenaran itu. Biasanya waham
digunakan untuk mengisi keperluan atau keinginan-keinginan dari penderita itu
sendiri. Waham
merupakan suatu cara untuk memberikan gambaran dari berbagai problem sendiri
atau tekanan-tekanan yang ada dalam kepribadian penderita biasanya:
1.
Keinginan yang tertekan.
2.
Kekecewaan dalam berbagai harapan.
3.
Perasaan rendah diri.
4.
Perasaan bersalah.
5.
Keadaan yang memerlukan perlindungan
terhadap ketakutan.
Pasien ini tidak memperlihatkan gangguan pikiran dan mood
yang perfasif seperti yang ditemukan pada kondisi psikotik lain. Tidak ada afek datar atau afek tidak serasi, halusinasi menonjol,
atau waham aneh yang nyata. Pasien memiliki
satu atau beberapa waham, sering berupa waham kejar, dan ketidaksetiaan dan
dapat juga berbentuk waham kebesaran, somatik, atau eretomania yang :
1.
Biasanya spesial (misal, melibatkan
orang, kelompok, tempat, atau waktu tertentu, atau aktivitas tertentu)
2.
Biasanya terorganisasi dengan baik
(misal, “orang jahat ini” mengumpulkan alasan-alasan tentang sesuatu yang
sedang dikerjakannya yang dapat dijelaskannya secara rinci).
3.
Biasanya waham kebesaran (misal,
sekelompok yang berkuasa tertarik hanya kepadanya)
4.
Wahamnya tidak cukup aneh untuk
mengesankan skizofrenia.
Pasien-pasien ini (cenderung berusia 40-an) mungkin tidak dapat dikenali
sampai sistem waham mereka disadari oleh keluarga atau teman-temannya.
Diagnosis mungkin sulit karena pasien sangat tidak percaya pada pemeriksa dan
tidak mencari pengobatan secara sukarela. mereka sering sangat sensitif,
argumentatif. Meskipun ia dapat
melakukan pekerjaan dengan baik dan dalam hal – hal di luar waham mereka, ia
cenderung mengalami isolasi sosial baik karena keinginan mereka sendiri atau akibat ketidakramahan mereka (misal, pasangannya sering
mengabaikan mereka). Apabila terdapat disfungsi pekerjaan dan sosial, biasanya
hal ini merupakan respon langsung terhadap waham mereka
Kondisi ini sering tampak membentuk kesinambungan klinis
dengan kondisi seperti kepribadian paranoid, skizofrenia paranoid, penggambaran
mengenai batas-batas setiap sindrom menunggu penelitian lebih lanjut.
Singkirkan gangguan afektif, ide-ide paranoid dan cemburu sering terdapat pada
depresi. Paranoid sering terdapat
pada orang tua dan pada orang yang menyalahgunakan zat stimulan. Reaksi
paranoid akut sering ditemui pada pasien dengan delirium ringan dan pasien yang
harus berada ditempat tidur karena sakit (dan sensorisnya terganggu).
Etiologi tidak diketahui. tidak ada faktor genetik atau
biologik yang telah diidentifikasi. insidennya lebih tinggi pada kelompok
pengungsi, kelompok minoritas, dan orang dengan gangguan pendengaran. ada
kecenderungan hubungan di dalam keluarganya yang ditandai dengan kekacauan,
tidak berperasaan, dingin. Saat ini, kebermaknaan keadaan keluarga seperti ini
sebagai etiologi belum pasti. mekanisme pertahanan spesifik yang digunakan oleh
pasien biasanya penyangkalan, proyeksi, dan regresi.
B.
PSIKOPATOLOGI
Waham dapat terjadi di awali dengan
adanya perasaan diancam oleh lingkungan, merasa suatu yang tidak menyenangkan
klien sehingga klien mengingkari ancaman dari persepsi diri atau objek realitas
dengan menyalahkan arti dan kesan terhadap kejadian bagian ekternal dan
akhirnya individu mencoba memberi pembenaran rasional/alasan interpretasi
rasional tentang realitas pada diri sendiri atau orang lain.
Gangguan proses dan isi pikiran dapat
diidentifikasikan dengan adanya waham perubahan proses pikir dapat
dimanifestasikan karena adanya kerusakan dalam pengoperasian kognitif dan
aktivitas.
C.
FAKTOR-FAKTOR PRESIPITASI/PEMICU
1.
Adanya hubungan yang bermusuhan
2.
Tekanan
3.
Isolasi
4. Pengganguran disertai dengan perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak
berdaya.
D.
FAKTOR-FAKTOR PREDISPOSISI
1.
Biologis/Genetis; diturunkan
a.
Neurobiologis; adanya gangguan pada
korteks pre frontal dan korteks limbik
b.
Neurotransmiter; abnormalitas pada
dopamin, serotonin, dan glutamate
2.
Psikologi
a.
Penolakan dan kekerasan dalam kehidupan
klien
b.
Penolakan dapat dirasakan dari ibu,
teman yang bersikap dingin, cemas, tidak resitif atau terlalu melindungi.
c.
Pola asuh tidak adekuat, konflik dan
kekerasan dalam keluarga.
3.
Sosial budaya
Kehidupan
sosial budaya dapat pula mempengaruhi timbulnya waham seperti kemiskinan.
Konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan, kerawanan) serta kehidupan yang
terisolasi dan stress yang menumpuk. Faktor prespitasi yang biasanya
menimbulkan waham merupakan karakteristik umum latar belakang termasuk riwayat
penganiayaan fisik / emosional, perlakuan kekerasan dari orang tua, tuntutan
pendidikan yang perfeksionis, tekanan, isolasi, permusuhan, perasaan tidak
berguna ataupun tidak berdaya.
E.
PENGKAJIAN
Berikut ini beberapa contoh pertanyaan
yang dapat saudara gunakan sebagai panduan untuk mengkaji pasien dengan waham
curiga:
1.
Apakah pasien memiliki pikiran/isi pikir
yang berulang-ulang diungkapkan dan menetap?
2.
Apakah pasien takut terhadap orang,
objek atau situasi tertentu?
3.
Apakah pasien pernah merasakan bahwa
benda-benda disekitarnya aneh, tidak nyata, atau dapat melukai/menyakiti
pasien?
4.
Apakah pasien pernah merasa diawasi atau
dibicarakan oleh orang lain?
5.
Apakah pasien pernah merasa orang lain
akan menyakitinya?
Selama pengkajian saudara harus
mendengarkan dan memperhatikan semua informasi yang diberikan oleh pasien
tentang wahamnya. Untuk mempertahankan hubungan saling percaya yang telah
terbina jangan menyangkal, menolak, atau menerima keyakinan pasien.
Pengkajian pada pasien waham dengan menggunakan Respons Umum Fungsi
Adaptasi (RUFA) dengan rentang skore/kode 1 – 30. Pengkajian
tersebut terbagi dalam tiga kelompok berdasarkan skala RUFA (lihat tabel 1).
Tabel 1. Tabel
Pengkajian RUFA untuk Pasien Waham Curiga
Aspek Penilaian
|
0-10
|
11-20
|
20-30
|
Isi pikir
|
Ø
Selalu berfikir tidak logis:
curiga pada orang lain (hampir tidak ada jeda), dan berespon marah bila ada
orang lain yang mengingatkan
Ø
Ide bunuh diri yang disebabkan karena curiga
Ø
Orientasi terhadap realita
(waktu, tempat, orang) sangat buruk dan menolak dilakukan orintasi oleh orang
lain
|
Ø
Masih memiliki pikiran yang tidak
logis (setiap 2 jam/ 5-10 kali/hari) , tapi sudah bisa mengontrol marah bila
diingatkan
Ø
Ide bunuh diri sudah tidak ada
Ø
Orientasi realita masih perlu
dibantu orang lain
|
Ø
Pikiran tidak logis muncul
sesekali
Ø
Orientasi realita baik
|
Proses pikir
|
Ø
Flight of idea (topik pembicaraan
melompat-lompat)
Ø
Perservasi (pembicaraan
berulang-ulang)
Ø
Tangensial
Ø
Sirkumstansial
Ø
Kehilangan asosiasi
|
Masih ada gangguan proses pikir (flight of idea, perseverasi, tangensial,
sirkumstansial, kehilangan asosiasi), tapi sudah bisa difokuskan
|
Proses pikir baik
|
Perilaku
|
Ø
Melakukan kekerasan (violence)
pada diri sendiri/orang lain
Ø
Impulsif (spontan)
Ø
Agitasi
Ø
Menolak berinteraksi dengan orang
lain (terutama pd petugas kesehatan) à mengurung diri
|
Tidak melakukan kekerasan, tidak impulsif, kadang-kadang agitasi, sudah
mau berinteraksi dengan beberapa orang (termasuk petugas kesehatan)
|
Tidak melakukan kekerasan, tidak impulsif, tidak agitasi, sudah mau
berintarasi dengan banyak orang
|
Emosi
|
Ø
Mudah tersinggung (labil)
Ø
Marah
|
Masih mudah tersinggung, tapi sudah bisa mengontrol marah
Mengungkapkan/menunjukkan
kesedihan karena tidak ada orang yang dipercaya
|
Emosi stabil
|
Hasil dari pengkajian akan menentukan tindakan keperawatan yang akan
diberikan terhadap pasien. Bentuk tindakan keperawatan berdasarkan 3 kategori,
yaitu:
§ RUFA 01 – 10 masuk dengan katagori
intsensif 1
§ RUFA 11 – 20 masuk dalam katagori
intensif 2
§ RUFA 21 – 30 masuk dengan katagori
intensif 3
F.
RENTANG RESPON WAHAM
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Respon
Adaptif
Respon Maladaptif
I-------------------------------------------I------------------------------------------I
Pikiran logis Distorsi
pikiran Gangguan
pikir/delusi
Persepsi akurat
Ilusi
Halusinasi
Emosi konsisten dengan
Reaksi emosi berle-
Sulit berespon emosi
pengalaman
bihan atau kurang
Perilaku disorganisasi
Perilaku sesuai
Perilaku aneh/tdk biasa
Isolasi sosial
Berhubungan sosial
Menarik diri
Rentang Respons
Neurobiologi (Stuart dan Laraia, 2005 hal. 387).
G.
TANDA DAN GEJALA
Tanda
dan gejala yang dihasilkan atas penggolongan waham (Standar Asuhan Keperawatan
Jiwa RSJP Bogor di kutip oleh RSJP Banjarmasin, 2001) yaitu:
1.
Waham dengan perawatan minimal
a.
Berbicara dan berperilaku sesuai dengan
realita.
b.
Bersosialisasi dengan orang lain.
c.
Mau makan dan minum.
d.
Ekspresi wajah tenang.
2.
Waham dengan perawatan parsial
a.
Iritable.
b.
Cenderung menghindari orang lain.
c.
Mendominasi pembicaraan.
d.
Bicara kasar.
3.
Waham dengan perawatan total
a.
Melukai diri dan orang lain.
b.
Menolak makan / minum obat karena takut
diracuni
c.
Gerakan tidak terkontrol.
d.
Ekspresi tegang.
e.
Iritable
f.
Mendominasi pembicaraan
g.
Bicara kasar.
h.
Menghindar dari orang lain.
i.
Mengungkapkan keyakinannya yang salah
berulang kali
j.
Perilaku bazaar
H.
TINDAKAN KEPERAWATAN
1.
Tindakan keperawatan untuk pasien
Tujuan
a.
Pasien dapat berorientasi kepada
realitas secara bertahap
b.
Pasien mampu berinteraksi dengan orang
lain dan lingkungan
c.
Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5
benar
Tindakan
a.
Bina hubungan saling percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien dengan
waham, saudara harus membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar
pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan saudara. Tindakan yang
harus saudara lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah:
1)
Mengucapkan salam terapeutik
2)
Berjabat tangan
3)
Menjelaskan tujuan interaksi
4)
Membuat kontrak topik, waktu dan tempat
setiap kali bertemu pasien.
b.
Lakukan Komunikasi terapeutik dengan cara :
1)
Perawat sabar, empati,
gunakan kemampuan mendengar aktif
2)
Melakukan kontak mata
3)
Memanggil pasien dengan namanya
c.
Siapkan lingkungan yang aman dengan memastikan tidak ada barang-barang yang berbahaya atau singkirkan semua benda yang
membahayakan
d.
Identifikasi isi dan tipe delusi / waham
1)
Klarifikasi setiap
kebingungan pasien dengan menanyakan apa yang pasien katakan
2)
Identifikasi munculnya
topik sentralà topik/ide pembicaraan yang sering
diungkapkan pasien
e.
Kaji intensitas, frekuensi, dan durasi
delusi
1)
Jika pasien selalu
memperkenalkan dirinya sesuai dengan delusinya, dengarkan pasien dan beri
arahan untuk melakukan tugas sesuai dengan kemampuannya
2)
Jika pasien sangat
sering menceritakan delusinya, dengarkan sampai tidak ada kebutuhan
mendiskusikannya lagi
f.
Tempatkan delusi dalam suatu kerangka waktu dengan mengidentifikasi komponen delusi dengan menempatkannya dalam waktu dan sekuen
(urutan)
g.
Identifikasi berbagai stresor yang
akhir-akhir ini dihadapi pasien
h.
Hubungkan kejadian delusi dan kejadian
stres
i.
Jika pasien meminta perawat meyakini
delusinya, maka hargai bahwa itu adalah pengalaman pasien
j.
Bicarakan tentang kejadian nyata dan orang
yang nyata dengan menggunakan situasi nyata
(tidak konfrontasi langsung terhadap wahamnya)
k.
Kolaborasi
1)
Berikan obat-obatan
sesuai standar medik atau program terapi Pengobatan dapat berupa injeksi valium
10 mg IM/IV (golongan fenotiazine) dan injeksi Haloperidol, Serenace atau
lodomer 5 mg IM (golongan butirofenon). Pemberian dapat diulang setiap 6 jam.
Selain obat injeksi diberikan juga obat peroral (golongan fenotiazine) seperti
Chlorpromazine/largactile/promactile, biasanya diberikan 3 x 100 mg
2)
Pantau keefektifan
obat-obatan dan efek sampingnya
l.
Observasi
1)
Lakukan observasi
setiap 30 menit, kaji ulang RUFA
2)
Observasi tanda-tanda vital
3)
Observasi perilaku
pasien yang berkaitan dengan waham
2.
Tindakan keperawatan yang ditujukan
untuk keluarga
Tujuan :
a.
Keluarga mampu mengidentifikasi waham
pasien
b.
Keluarga mampu memfasilitasi pasien
untuk memenuhi kebutuhan yang dipenuhi
oleh wahamnya.
c.
Keluarga mampu mempertahankan program
pengobatan pasien scr optimal
Tindakan :
1.
Diskusikan dengan keluarga tentang waham
yang dialami pasien
2.
Diskusikan dengan keluarga tentang :
a.
Cara merawat pasien waham dirumah
b.
Follow up dan keteraturan pengobatan
c.
Lingkungan yang tepat untuk pasien.
3.
Diskusikan dengan keluarga tentang obat
pasien (nama obat, dosis, frekuensi, efek samping, akibat penghentian obat)
4.
Diskusikan dengan keluarga kondisi
pasien yang memerlukan bantuan
Laporan
Pendahuluan
RESIKO BUNUH DIRI
A.
PENGERTIAN
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan yang berakhir dengan kematian ( Keliat, 1995). Scatcher
(1999) dalam artikelnya mengemukakan bahwa bunuh diri adalah suatu problem
kesehatan masyarakat yang serius. Bunuh
diri merupakan kedaruratan psikiatri karena klien berada dalam keadaan stress
yang tinggi dan mengunakan koping yang mal adaptif. Sangat sulit menerangkan
mengapa orang memutuskan untuk bunuh diri padahal orang lain dalam situasi yang
mirip atau mungkin lebih parah tidak berusaha bunuh diri, bagaimanapun juga
kebanyakan bunuh diri dapat dicegah.
Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu yang
mengalami gangguan mood, terutama depresi. Menurut shneidman seorang peneliti
bunuh diri ternama dalam Videbeck (2008)
mendefenisikan dua kategori bunuh diri, langsung dan tidak
langsung. Bunuh diri langsung adalah
tindakan yang disadari dan disengaja untuk mengakhiri hidup seperti membakar
diri. Bunuh diri tidak langsung adalah keinginan tersenbunyi yang tidak
disadari untuk mati, yang ditandai dengan perilaku kronis beresiko seperti
penyalahgunaan zat, makana berlebihan dan sebagainya.
B.
RENTANG RESPON
Rentang sehat-sakit dapat dipakai
untuk menggambarkan respon adaptif sampai respon maladaptif pada bunuh diri.
Menghar-gai
diri
|
Berani ambil resiko dalam mengembang-kan diri
|
Merusak diri sendiri secara tidak langsung
|
Bunuh diri
|
Setiap individu selalu menghadapi
masalah atau stressor, namun respon individu terhadap stressor tergantung
terhadap kemampuan masalah yang dimiliki serta tingkat stress yang dialami.
Individu yang sehat senantiasa berespon secara adaptif dan jika gagal ia
berespon secara maladaptif dengan menggunakan koping bunuh diri.
C. ETIOLOGI
Banyak penyebab tentang alasan seseorang melakukan
bunuh diri :
- Kegagalan
beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
- Perasaan
terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
- Perasaan
marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri.
- Cara
untuk mengakhiri keputusasaan.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Stuart dan Sundeen (1997), faktor predisposisi
bunuh diri antara lain :
1. Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri, mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan apektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2. Sifat kepribadian
Tiga
aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri adalah
rasa bermusuhan, implisif dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan,
perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial
merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor resiko penting untuk prilaku destruktif.
5. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik,
dan depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku
destrukif diri.
E. Faktor Presipitasi
1. Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh
diri adalah :
2. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan
hubungan interpersonal /gagal melakukan hubungan yang berarti.
3. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi
stres.
4. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri.
5. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
F.
Perilaku Klien Yang
Berkeinginan Melakukan Bunuh Diri
Semua perilaku
bunuh diri adalah serius, apapun tujuannya. Dalam pengkajian perilaku bunuh
diri, lebih ditekankan pada metode latalitas yang dilakukan atau digunakan.
Walaupun semua ancaman dan percobaan bunuh diri harus ditanggapi serius,
perhatian yang lebih waspada dan seksama menjadi indikasi jika seseorang
mencoba bunuh diri dengan cara yang paling mematikan seperti dengan menembakkan
diri dengan pistol, menggantung diri atau meloncat dari ketinggian. Cara yang
kurang mematikan seperti karbon monoksida dan minum obat dalam jumlah yang
berlebihan, yang memberikan waktu untuk mendapatkan bantuan dan tindakan bunuh
diri dilakukan.
Stuart dan
Sundeen (1998) membagi perilaku bunuh diri bersama dibagi dalam tiga kategori :
1.
Ancaman bunuh diri
Peringatan verbal atau non verbal
bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut mungkin
menunjukkan secara verbal bahwa ia tak akan berada disekitar kita lebih lama
lagi. Atau juga mengkomunikasikan secara non verbal melalui pemberian hadiah,
merevisi wasiat da sebagainya, pesan-pesan ini harus dipertimbangkan dalam
konteks peristiwa kehidupan terakhir. Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang
tentang kematian, kurangnya respon positif dapat ditafsirkan sebagai dukungan
untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2.
Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada
diri yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarah kepada kematian jika
tidak dapat dicegah.
3.
Bunuh diri
Mungkin terjadi setelah tanda dan
peringatan terlewatkan atau diabaikan, orang yang melakukan upaya bunuh diri
dan yang tidak benar-benar ingin mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui
tepat waktunya.
Berdasarkan
besarnya kemungkinan pasien melakukan bunuh diri, kita mengenal tiga macam perilaku bunuh diri,
yaitu:
1.
Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara
tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan: “Tolong jaga
anak-anak karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik
tanpa saya.” Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk
mengakhiri hidupnya, namun tidak
disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah / sedih / marah / putus asa / tidak berdaya.
Pasien juga mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah
2.
Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan
persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah
memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh
diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien belum pernah mencoba
bunuh diri, pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat
dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan
rencana bunuh dirinya.
3.
Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri
adalah tindakan pasien mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri
kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien
aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun, memotong
urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi.
G.
Stresor Pencetus
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan yang
dialami oleh individu, pencetusnya seringkali berupa kejadiaan kehidupan yang
memalukan seperti masalah interpersonal, dipermalukan dimuka umum, kehilangan
pekerjaan atau ancaman pengurungan. Selain itu mengatahui seseorang telah
mencoba atau melakukan bunuh diri atau membaca dari media dapat juga membuat
individu makin rentan untuk melakukan destruktif diri.
H.
Sumber Koping
Pasien dengan penyakit kronik, nyeri atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku destruktif diri, seringkali dengan sadar orang ini
memilih untuk bunuh diri. Kualitas hidup menjadi isu yang mengkesampingkan
kuatitas.
I.
Mekanisme Koping
Mekanisme
pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku destruktif diri tak langsung
adalah :
1.
Denial, mekanisme
koping yang paling menonjol
2.
Rasionalisasi
3.
Intelektualisasi
4.
Regresi
Mekanisme pertahanan diri tidak seharusya ditantang tampa memberikan cara
koping alternatif, mekanisme pertahanan ini mungkin berada diantara individu
dan bunuh diri. Perilaku bunuh diri menunjukkan mendesaknya kegagalan mekanisme
koping, ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan
pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan
kegagalan koping dan mekanisme adaptif.
J.
Faktor Resiko Tingkah
Laku Bunuh Diri
Ada banyak
pendapat tentang penyebab atau alasan yang mendorong terjadinya perilaku bunuh
diri, diantaranya adalah:
1.
Kegagalan untuk
adaptasi, sehingga tidak dpt menghadapi stress.
2.
Perasaan terisolasi,
dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal atau gagal melakukan
hubungan yang berarti.
3.
Perasaan marah atau
bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri.
4.
Cara untuk mengakhiri
keputusasaan.
5.
Tangisan minta tolong.
Sedangkan menurut journal of
psychiatric (2002) ada beberapa kelompok beresiko yang di diagnostik dalam usaha bunuh diri :
1.
Depresi, baik
dalam bentuk apapun.
2.
Gangguan kepribadian (kepribadian anti
sosial dan borderline dengan sifat yang impulsif, agresif dan perubahan mood
yang sering).
3.
Alkoholisme dan penyalahgunaan zat lain
dalam masa remaja.
4.
Schizofrenia.
5.
Gangguan mental organik.
6.
Gangguan mental lainnya.
Sementara itu
menurut Patel (2003), hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku bunuh diri
adalah :
1.
Depresi, depresi adalah
penyebab utama tindakan bunuh diri, depresi dapat menyebabkan kesedihan yang
mendalam, kehilangan perhatian dalam hidup dan kehilangan harapan pada masa
depan.
2.
Penyalahgunaan
obat-obatan dan alkohol, meskipun banyak orang meminum alkohol dan meminum
obat-obatan untuk merasa lebih baik, faktanya unsur tersebut malah bertindak
sebagai depresan pada otak.
3.
Permasalahan kesehatan
jangka panjang, bermacam-macam penyakit yang menyebabkan kesakitan atau
penyakit terminal sehingga membuat orang berfikir untuk bunuh diri.
4.
Kekacauan mental yang
berat, orang dengan penyakit kejiwaan sangat beresiko untuk mengakhiri hidupnya
sampai dengan melakukan bunuh diri.
5.
Faktor sosial dan
personal memainkan peranan penting dalam kesehatan jiwa, faktor sosial yang
membuat seseorang merasa tidak bahagia dan mencoba untuk bunuh diri meliputi :
a.
Hubungan yang tak
bahagia, terutama sekali perkawinan yang tak bahagia.
b.
Berbagai kesulitan
ekonomi, terutama sekali ketika mendapatkan kemalangan, seperti kehilangan pekerjaan.
c.
Kehilangan orang yang
dicintai, misalnya sampai mengalami kesedihan yang mendalam
d.
Tidak memiliki teman yang dapat untuk berbagi perasaan & memecahkan
masalah.
Stuart dan Sundeen mengemukakan faktor resiko tingkah laku bunuh diri
seperti pada tabel dibawah ini:
Faktor
|
Resiko tinggi
|
Resiko rendah
|
Umur
Jenis kelamin
Status kawin
Jabatan
Penyakit fisik
Gangguan mental
Pemakai obat & alkohol
|
45 tahun dan remaja
Laki-laki
Cerai, pisah, janda/duda
Profesional
Kronik, terminal
Depresi, halusinasi
Ketergantungan
|
25-45 tahun dan < 12 tahun
Perempuan
Kawin
Pekerjaan Kasar
Tidak ada yang serius
Gangguan kepribadian
Tidak
|
Diantara faktor-faktor diatas yang
pencetus utama timbulnya perilaku bunuh diri adalah depresi, gangguan bipolar,
shcizofrenia, dan penyalahgunaan alkohol, narkotika dan obat berbahaya lainnya.
Depresi adalah diagnosa yang paling
sering ada dalam kasus bunuh diri. Semua orang merasa depresi, sedih, sendiri
dan tidak stabil dari waktu ke waktu, dan perasaan-perasaan seperti
itu biasanya dapat dilewati. Tetapi, ketika perasaan-perasaan itu dengan
gigih mengacaukan kehidupan normal seseorang, perasaan-perasaan depresif itu
berubah kondisi menjadi penyakit depresif. Depresi dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai
kesedihan dan rendah diri, individu berfikir untuk bunuh diri pada waktu
depresi berat, namun tidak memiliki tenaga untuk melakukannya. Biasanya bunuh
diri terjadi pada saat individu keluar dari keadaan depresi berat.
K.
Pengkajian
Asuhan keperawatan tingkah laku bunuh diri
difokuskan pada pencegahan bunuh diri. Pencegahan dapat dicapai karena semua individu yang ingin bunuh diri
ambivalen terhadap hidup dan tidak ada yang seratus persen ingin mati. Tujuan
utama asuhan keperawatan tingkah laku bunuh diri pada keadaan darurat adalah
melindungi keselamatan klien atau mencegah terjadinya bunuh diri dan membantu
klien mengganti koping yang destruktif dengan koping yang konstruktif.
Pengkajian tingkah laku bunuh diri termasuk aplikasi observasi melekat dan
keterampilan mendengar untuk mendeteksi tanda spesifik, rencana yang spesifik.
Hal utama yang perlu dikaji adalah tanda atau gejala yang dapat menentukan
tingkat resiko dari tingkah laku bunuh diri.
(Skor: 1-10 Skala RUFA)
|
(Skor: 11-20 Skala RUFA
|
(Skor: 21-30 Skala RUFA
|
Percobaan Bunuh Diri
¬
Aktif mencoba bunuh
diri dengan cara:
¬
Mengalami depresi
¬
Mempunyai rencana
bunuh diri yang spesifik
¬
Menyiapkan alat utk
bunuh diri (pistol, pisau, silet, dll)
|
Ancaman Bunuh Diri
¬
Aktif memikirkan
rencana bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh diri
¬
Mengatakan ingin
bunuh diri namun tanpa rencana yang spesifik
¬
Menarik diri dari
pergaulan sosial
|
Isyarat Bunuh Diri
¬
Mungkin sudah
memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya,
namun tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri
¬
Mengungkapkan
perasaan seperti rasa bersalah / sedih / marah / putus asa / tidak berdaya
¬
Mengungkapkan hal-hal
negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah
¬
Mengatakan: “Tlg jaga
anak-anak karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik
tanpa saya.”
|
Setelah
melakukan pengkajian, saudara dapat merumuskan diagnosa keperawatan berdasarkan
tingkat risiko dilakukannya bunuh diri. Jika ditemukan data bahwa pasien
menunjukkan isyarat bunuh diri, masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah:
Harga diri rendah. Bila saudara telah merumuskan masalah ini, maka tindakan
keperawatan yang paling utama dilakukan adalah meningkatkan harga diri pasien.
Intensitas bunuh diri dapat dikaji
dengan pemberian skor yang disebut dengan SIRS (Suicidal Intention Rating
Scale) dengan nilai skor 0 – 4
Skor 0 Tidak ada ide bunuh diri yang lalu
dan sekarang
Skor 1 Ada ide bunuh diri, tidak ada
percobaan bunuh diri, tidak mengancam bunuh diri.
Skor 2 Memikirkan bunuh diri dengan aktif,
tidak ada percobaan bunuh diri.
Skor 3 Mengancam bunuh diri misalnya
:”tinggalkan saya sendiri atau saya bunuh diri”.
Skor 4 Aktif mencoba bunuh
diri.
Untuk ini ada
beberapa pendapat dan petunjuk yang dapat dipilih oleh perawat, sebagai berikut
:
Perilaku atau gejala
|
Intensitas resiko
|
||
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
|
Cemas
Depresi
Isolasi
menarik diri
Fungsi
sehari-hari
Strategi koping
Orang
penting/dekat
Pelayanan
psikiatri yang lalu
Pola hidup
Pemakai
alkohol dan obat
Percobaan
bunuh diri sebelumnya
Disorientasi
dan disorganisasi
Bermusuhan
Rencana bunuh diri
|
Rendah
Rendah
Perasaan depresi yang samar, tidak menarik diri.
Umumnya baik pada semua aktivitas
Umumnya kontruktif
Beberapa
Tidak, sikap positif
Stabil
Tidak sering
Tidak atau yang tidak fatal
Tidak ada
Tidak ada atau sedikit
Samar, kadang-kadang ada pikiran, tidak ada rencana
|
Sedang
Sedang
Perasaan tidak berdaya, putus asa, menarik diri
Baik pada beberapa aktivitas
Sebagian kontrutif
Sedikit atau hanya satu
Ya, umumnya memuaskan
Sedang (stabil unstabil)
Sering
Dari tidak sampai dengan cara yang agak fatal
Sedikit
Beberapa
Kadang-kadang
Sering dipikirkan kadang-kadang ada ide untuk merencakan
|
Tinggi atau panik
Berat
Tidak berdaya, putus asa, menarik diri, protes pada diri sendiri.
Tidak baik pada semua aktivitas
Sebagian besar destruktif
Tidak ada
Bersikap negatif terhadap pertolongan
Tidak stabil
Terus menerus
Dari tidak sampai dengan cara yang fatal
Jelas atau ada
Jelas atau ada
Sering dan konstan dipikirkan dgn rencana yang spesifik.
|
Dari pengkajian diatas perawat mengidentifikasikan klien yang termasuk
kedaruratan adalah klien resiko tinggi dengan dengan skor yang tinggi, tingkat
lain yang mempunyai resiko. Skor nol dan intensitas yang rendah tidak mempunyai
resiko bunuh diri saat ini.
L.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
perilaku bunuh diri harus dilandasi atas pertimbangan keseriusan dan
kemendesakan aktivitas yang membahayakan klien. Klien yang menyangkal sifat destruktif-diri
melalui perilakunya jangan mempengaruhi perawat untuk meremehkan kebutuhan
intervensi keperawatan. Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan pengamatan
perawat dikombinasikan dengan pengumpulan data oleh pemberi pelayanan kesehatan
lainnya dan informasi yang diberikan klien dan orang terdekat. Diagnosa
keperawatan lengkap bersifat individual dan berhubungan dengan perilaku
menyeluruh oleh kebutuhan keperawatan klien.
M.
Tindakan Keperawatan
Stuart dan Sundeen (1998) mengindentifikasikan implementasi utama pada
klien dengan tingkah laku bunuh diri adalah sebagai berikut :
ü
Melindungi, merupakan implementasi yang
paling penting untuk mencegah klien melukai dirinya, tempatkan klien ditempat
yang aman, bukan diisolasi, serta semua tindakan dijelaskan kepada klien,
pengawasan satu-satu selama 24 jam harus dilakukan pada klien dengan resiko
tinggi untuk melakukan bunuh diri. Krisis intervensi merupakan tindakan yang
tepat, kecenderungan bunuh diri yang ada pada masyarakat memerlukan bantuan dengan
segera.
ü
Meningkatkan harga diri, klien yang
berkeinginan bunuh diri mempunyai harga diri yang rendah. Dengan menyediakan
waktu dan diri bagi klien membuktikan bahwa klien penting. Bantu klien
mengekpresikan perasaan positif dan negatif, berikan pujian pada hal positif,
bersama klien indentifikasi sumber kepuasan dan rencana aktifitas yang
memungkinkan akan keberhasilan.
ü
Menguatkan koping yang konstruktif/
sehat. Perawat perlu mengkaji koping yang sering dipakai klien, berikan pujian
dan penguatan pada koping yang konstruktif, untuk koping yang desktruktif perlu
dimodifikasi atau diganti dengan koping baru yang sehat.
ü
Menggali perasaan, perawat membantu
klien untuk mengenal perasaannya. Bersama mencari faktor predisposisi atau
partisipasi yang mempengaruhi klien. Dengan mengenal perasaan dan penyebab
perilakunya maka klien dapat mengubahnya pada masa yang akan datang.
ü
Menggerakkan dukungan sosial. Biasanya
klien yang mempunyai keinginan bunuh diri tidak atau kurangnya dukungan sosial.
Untuk itu perawat mempunyai peran menggerakkan sistem sosial klien, keluarga,
teman dekat atau lembaga pelayanan di masyarakat dapat membantu perilaku klien.
Dan klien memerlukan bantuan dalam meningkatkan pola dan kualitas komunikasi.
Menurut Keliat (2006)
tindakan keerawatan untuk pasien dengan tingkah laku bunuh diri sebagai berikut
:
1.
Tindakan keperawatan
untuk pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri
Tujuan: Pasien tetap aman dan selamat
Tindakan :
Untuk melindungi pasien yang
mengancam atau mencoba bunuh diri, maka saudara dapat:
a.
Menemani pasien
terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat yang aman
b.
Menjauhkan semua benda
yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas, tali pinggang)
c.
Mendapatkan orang yang
dapat segera membawa pasien ke rumah sakit untuk pengkajian lebih lanjut dan
kemungkinan dirawat
d.
Memeriksa apakah pasien
benar-benar telah meminum obatnya, jika pasien mendapatkan obat
e.
Dengan lembut
menjelaskan pada pasien bahwa saudara akan melindungi pasien sampai tidak ada
keinginan bunuh diri
2.
Tindakan keperawatan
untuk keluarga yang
pasien yang mengancam atau
mencoba bunuh diri
Tujuan: Keluarga berperan serta
melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba bunuh diri
Tindakan:
a.
Menganjurkan keluarga
untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah meninggalkan pasien sendirian.
b.
Menganjurkan keluarga
untuk membantu perawat menjauhi barang-barang berbahaya disekitar pasien.
c.
Mendiskusikan dengan
keluarga orang yang dapat membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin.
d.
Menjelaskan kepada
keluarga pentingnya pasien minum obat secara teratur.
3.
Tindakan keperawatan
untuk pasien yang menunjukkan isyarat bunuh diri
Tujuan:
a.
Pasien mendapat
perlindungan dari lingkungannya.
b.
Pasien dapat
mengungkapkan perasaanya.
c.
Pasien dapat
meningkatkan harga dirinya.
d.
Pasien dapat
menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
Tindakan
keperawatan
a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
b.
Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
1)
Memberi kesempatan
pasien mengungkapkan perasaannya.
2)
Berikan pujian bila
pasien dapat mengatakan perasaan yang
positif.
3)
Meyakinkan pasien bahwa
dirinya penting
4)
Membicarakan tentang
keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
5)
Merencanakan aktifitas
yang dapat pasien lakukan
c.
Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
1)
Mendiskusikan dengan
pasien cara menyelesaikan masalahnya.
2)
Mendiskusikan
dengan pasien efektifitas masing-masing cara penyelesaian masalah.
3)
Mendiskusikan dengan
pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik.
4.
Tindakan keperawatan
untuk keluarga dengan anggota keluarga yang menunjukkan isyarat bunuh diri.
Tujuan: Keluarga mampu merawat pasien dengan risiko bunuh diri.
Tindakan keperawatan:
a.
Mengajarkan keluarga
tentang tanda dan gejala bunuh diri
b.
Menanyakan keluarga
tentang tanda dan gejala bunuh diri yang penah muncul pada pasien.
c.
Mendiskusikan tentang
tanda dan gejala yang umumnya muncul pada pasien berisiko bunuh diri.
d.
Mengajarkan keluarga
cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri
e.
Mendiskusikan tentang
cara yang dapat dilakukan keluarga bila pasien
f.
Memperlihatkan tanda
dan gejala bunuh diri
g.
Menjelaskan tentang
cara-cara melindungi pasien, antara lain:
1)
Memberikan tempat yang
aman.
2)
Menempatkan pasien di
tempat yang mudah diawasi, jangan biarkan pasien mengunci diri di kamarnya atau
jangan meninggalkan pasien sendirian di rumah
3)
Menjauhkan
barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri. Jauhkan pasien dari
barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri, seperti: tali, bahan bakar
minyak / bensin, api, pisau atau benda tajam lainnya, zat yang berbahaya
seperti obat nyamuk atau racun serangga.
4)
Selalu mengadakan
pengawasan dan meningkatkan pengawasan apabila tanda dan gejala bunuh diri
meningkat. Jangan pernah melonggarkan pengawasan, walaupun pasien tidak
menunjukan tanda dan gejala untuk bunuh diri.
h.
Menganjurkan keluarga
utk melaksanakan cara tersebut diatas.
i.
Mengajarkan keluarga
tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila pasien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain:
1)
Mencari bantuan pada
tetangga sekitar atau pemuka masyarakat untuk
menghentikan upaya bunuh diri tersebut
2)
Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas mendapatkan bantuan medis
j.
Membantu keluarga
mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi pasien
1)
Memberikan informasi
tentang nomor telepon darurat tenaga kesehatan
2)
Menganjurkan keluarga
untuk mengantarkan pasien berobat/kontrol secara teratur untuk mengatasi
masalah bunuh dirinya.
k.
Menganjurkan keluarga
untuk membantu pasien minum obat sesuai prinsip lima benar yaitu benar
orangnya, benar obatnya, benar dosisnya, benar cara penggunakannya, benar waktu
penggunaannya.
Laporan
Pendahuluan
HARGA DIRI
RENDAH
A.
PENGERTIAN
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan
dengan orang lain (Stuart dan Sudeen, 1998). Hal ini temasuk persepsi individu
akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan,
nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta
keinginannya. Sedangkan menurut Beck, Willian dan Rawlin (1986) menyatakan
bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik
fisikal, emosional intelektual, sosial dan spiritual.
B.
FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KONSEP DIRI
Menurut Stuart
dan Sudeen ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep
diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, Significant Other
(orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri
sendiri).
1.
Teori perkembangan.
Konsep diri belum ada waktu lahir,
kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan
membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan
diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi
lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pEngalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan
pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta
aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.
2.
Significant Other
(orang yang terpenting atau yang terdekat)
Dimana konsep diri
dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri
sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan
interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi
orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya,
pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya
dan sosialisasi.
3.
Self Perception
(persepsi diri sendiri)
Yaitu persepsi individu terhadap
diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya
akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui
pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek
yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang
positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang
dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan
penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari
hubungan individu dan sosial yang terganggu.
C.
RENTANG RESPON
Adaptif Maladaptif
Aktualisasi diri
Konsep diri Harga Diri Kekacauan Depersonalisasi
Positif Rendah indentitas
D.
HARGA DIRI
Harga diri
adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa
seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1991). Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak
berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi diri yg negatif
terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Harga diri rendah yang
berkepanjangan termasuk kondisi tidak sehat mental karena dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan
lain; terutama kesehatan jiwa. Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai
sesuatu yang berharga dan tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupannya
sendiri.
Menurut beberapa ahli
dikemukakan faktor-Fator yang mempengaruhi gangguan harga diri, seperti :
1.
Perkembangan individu.
Faktor predisposisi dapat dimulai
sejak masih bayi, seperti penolakan orang tua menyebabkan anak merasa tidak
dicintai dan mengkibatkan anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal untuk
mencintai orang lain. Pada saat anak berkembang lebih besar, anak mengalami
kurangnya pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting
baginya. Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk mandiri,
memutuskan sendiri akan bertanggung jawab terhadap prilakunya. Sikap orang tua
yang terlalu mengatur dan mengontrol, membuat anak merasa tidak berguna.
2.
Ideal diri tidak realistis.
Individu yang selalu dituntut untuk
berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia
membuat standart yang tidak dapat dicapai, seperti cita –cita yang terlalu
tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan tidak dapat dicapai membuat
individu menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya diri akan hilang.
3.
Gangguan fisik
dan mental
Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa
rendah diri.
4.
Sistim keluarga yang
tidak berfungsi.
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak
mampu membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua memberi umpan balik yang
negatif dan berulang-ulang akan merusak harga diri anak. Harga diri anak akan
terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalah tidak adekuat. Akhirnya anak
memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan di lingkungannya.
5.
Pengalaman traumatik
yang berulang, misalnya akibat
aniaya fisik, emosi dan seksual.
Penganiayaan
yang dialami dapat berupa penganiayaan fisik, emosi, peperangan, bencana alam,
kecelakan atau perampokan. Individu merasa tidak mampu mengontrol lingkungan.
Respon atau strategi untuk menghadapi trauma umumnya mengingkari trauma,
mengubah arti trauma, respon yang biasa efektif terganggu. Akibatnya koping
yang biasa berkembang adalah depresi dan denial pada trauma.
E.
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor
predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
F.
FAKTOR PRESIPITASI
Terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubah penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta
menurunnya produktivitas. Gannguan konsep diri: harga diri rendah ini dapat
terjadi secara situasional maupun kronik.
1.
Situasional : Bisa disebabkan oleh trauma
yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan,
menjadi korban pemerkosaan atau menjadi narapidana sehingga harus masuk
penjara.
Selain
itu, dirawat dirumah sakit juhga bisa menyebabkan rendahnya harga diri
seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien
tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi
tubuh, serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan
keluarga.
2.
Kronik : harga diri kronik biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasaka klien sebelum sakit atau sebelum dirawat.
Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi meningkat saat
dirawat.
G.
TANDA DAN GEJALA HARGA
DIRI RENDAH
1.
Merasa tidak mampu
melakukan sesuatu
2.
Mengkritik/menyalahkan
diri sendiri
3.
Pesimis menghadapi
hidup
4.
Menyangkal/menolak
pujian yang diberikan
5.
Produktivitas menurun
6.
Tidak memperhatikan
perawatan diri
7.
Tidak menatap lawan
bicara
8.
Bicara lambat dan nada
suara lemah
9.
Merendahkan martabat
10.
Merasa bersalah dan
khawatir.
11.
Menghukum diri sendiri,
menolak diri sendiri.
12.
Mengalami gejala fisik
: tekanan darah tinggi, gangguan penggunaan zat
13.
Menunda keputusan
14.
Sulit bergaul
15.
Menghindari kesenangan
yang dapat memberi rasa puas
16.
Menarik diri dari
realitas, cemas, panik, cemburu, curiga, halusinasi
17.
Merusak diri
18.
Merusak atau melukai
orang lain
19.
Kebencian dan penolakan
pada diri sendiri dapat dialihkan pada lingkungan atau melukai orang lain.
Selain adanya data-data diatas, saudara dapat juga
mengamati bagaimana penampilan seseorang dengan harga diri rendah terlihat dari
kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapih, berkurang selera
makan, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, bicara lambat
dengan nada suara lemah.
H.
TINDAKAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN :
1.
Tujuan :
a.
Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan
aspek positif yang dimiliki
b.
Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
c.
Pasien dpt menetapkan/memilih kegiatan yg
sesuai kemampuan
d.
Pasien dpt melatih kegiatan yg sudah
dipilih, sesuai kemampuan
e.
Pasien dapat merencanakan kegiatan yang
sudah dilatihnya
2.
Tindakan keperawatan :
a.
Mengidentifikasi
kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki pasien.
Untuk membantu pasien dapat
mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien, saudara
dapat :
1)
Mendiskusikan bahwa
pasien masih memiliki sejumlah kemampuan dan aspek positif seperti kegiatan
pasien di rumah, adanya keluarga dan lingkungan terdekat pasien.
2)
Beri pujian yang
realistik/nyata dan hindarkan setiap kali bertemu dengan pasien penilaian yang
negatif.
b.
Membantu pasien dapat menilai
kemampuan yg dapat digunakan.
Untuk tindakan
tersebut, saudara dapat :
1)
Mendiskusikan dengan
pasien kemampuan yang masih dapat
digunakan saat ini setelah mengalami bencana.
2)
Bantu pasien
menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap kemampuan diri yang diungkapkan
pasien.
3)
Perlihatkan respon
yang kondusif dan menjadi pendengar yang aktif
c. Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan
sesuai dgn kemampuan.
Tindakan keperawatan
yang dapat dilakukan adalah :
1)
Mendiskusikan dengan
pasien beberapa aktifitas yang dapat dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan
yang akan pasien lakukan sehari-hari.
2)
Bantu pasien menetapkan
aktifitas mana yang dapat pasien lakukan secara mandiri, mana aktifitas yang
memerlukan bantuan minimal dari keluarga dan aktifitas apa saja yang perlu
batuan penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat pasien. Berikan contoh cara
pelaksanaan aktifitas yang dapat dilakukan pasien. Susun bersama pasien dan
buat daftar aktifitas atau kegiatan sehari-hari pasien
d.
Melatih kegiatan
pasien yang sudah dipilih sesuai kemampuan
Untuk tindakan
keperawatan tersebut saudara dapat melakukan :
1)
Mendiskusikan dengan pasien untuk menetapkan
urutan kegiatan (yang sudah dipilih pasien) yang akan dilatihkan
2)
Bersama pasien dan keluarga memperagakan
beberapa kegiatan yang akan dilakukan pasien
3)
Berikan dukungan dan pujian yang nyata
setiap kemajuan yang diperlihatkan pasien.
e.
Membantu pasien
dapat merencanakan kegiatan
sesuai kemampuannya
Untuk mencapai tujuan dari tindakan
keperawatan tersebut, saudara dapat melakukan hal-hal berikut :
1)
Memberi kesempatan pd
pasien utk mencoba kegiatan yg telah dilatihkan
2)
Beri pujian atas
aktifitas/kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap hari
3)
Tingkatkan kegiatan
sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan setiap aktifitas
4)
Susun daftar aktifitas
yang sudah dilatihkan bersama pasien dan keluarga
5) Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah
pelaksanaan kegiatan
6)
Yakinkan bahwa
keluarga m’dukung setiap aktifitas yg dilakukan pasien
I.
PERAN KELUARGA
1.
Meningkatkan kesadaran diri klien
a.
Membina hubungan saling percaya
b.
Memberi pekerjaan atau kegiatan yang sesuai
dengan kemampuan klien
c.
Meningkatkan kontrak dengan orang lain
2.
Menggali kekuatan klien
a.
Dorong mengungkapkan
pikiran dan perasaannya.
b.
Bantu melihat kemampuan
dan kebolehan yang dimiliki klien
c.
Bantu mengenal
harapan
3.
Mengevaluasi diri
Membantu klien mengungkapkan
upaya-upaya yang biasa digunakan dalam menghadapi masalah baik positif maupun
agresif.
4.
Mengambil keputusan
Membantu klien mengubah prilaku yg negatif dan mempertahankan prilaku yang positif
Laporan
Pendahuluan
ISOLASI SOSIAL
A.
DEFINISI
Isolasi sosial/menarik
diri adalah prilaku menghindari interaksi dengan orang lain dan berhubungan
dengan orang lain (Rowliris, 1993). Perilaku menarik diri/isolasi sosial di sebabkan oleh perasaan tidak
berharga, banyak masalah, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan. Perilaku
menarik diri merupakan percobaan/ menghindari interaksi dgn orang lain. Akibat
menarik diri pasien cepat mengalami perasaan sensori persepsi, halusinasi yang
akan berakibat mencederai diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Adapun
penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah (Stuart dan Sundeen, 1995)
Isolasi sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan
perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan
yang mengancam (Nanda, 2005). Dengan kata lain kita dapat katakan bahwa isolasi
sosial adalah kegagalan individu dalam melakukan interaksi dengan orang lain
yang disebabkan oleh pikiran negatif atau mengancam. Sedangkan menurut Mary C. Townsend dalam Diagnose Kep. Psikiatri (1998; hal 252), isolasi
sosial adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu dan dirasakan
sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan negatif
yang mengancam. Dengan karakteristik : tinggal sendiri dalam ruangan,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi, menarik diri, kurangnya kontak mata.
Ketidak sesuaian atau ketidakmatangan minat dan aktivitas dengan perkembangan
atau terhadap usia. Preokupasi dengan pikirannya sendiri, pengulangan, tindakan
yang tidak bermakna. Mengekspresikan perasaan penolakan atau kesepian yang
ditimbulkan oleh orang lain. Mengalami perasaan yang berbeda dengan orang lain,
merasa tidak aman ditengah orang banyak.
Suatu sikap dimana individu
menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa ia
kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan intuk membagi fikiran,
perasaan prestasi dan kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan
dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak
ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain
(balitbang, 2007 dikutip oleh Fitria, 2009)
Isolasi sosial adalah keadaan dimana
seseorang mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain disekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
(Yosep,2007).
Pasien dapat mengalami penurunan
interaksi atau bahkan sama sekali tidak
bisa berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Katatonik adalah gangguan
aktifitas psikomotor yang dimanifestasikan dengan berdiam diri dengan satu
sikap/ posisi yang bizar, membisu dan mutisme, pasien tidak menyadari posisi
tubuhnya, menolak makan dan minum serta tidak mampu merawat diri. Kondisi isolasi sosial yang memerlukan perawatan
intensif adalah kondisi katatonia.
Prinsip tindakan keperawatan yang utama adalah memenuhi kebutuhan biologis,
melakukan komunikasi verbal dan non verbal, dan
melatih pasien berinteraksi dengan orang lain. Perilaku isolasi sosial
seperti kataton dan stupor memerlukan penanganan yang intensif. Kondisi ini
mengakibatkan penurunan fungsi adaptasi dan produktifitas dari individu serta
menyebabkan ketidakmampuan berinteraksi baik kemampuan berbicara atau berespon
terhadap stimulus yang diterimanya oleh karena itu pasien isolasi sosial yang
mengalami katatonia dan stupor perlu
ditangani secara intensif, karena membahayakan integritas fisik pasien (Keliat,
2008).
Mekanisme koping yang
sering dilakukan oleh pasien menarik diri adalah regresi. Regresi dapat mempengaruhi keseluruhan atau sebahagian aspek
kepribadian yang dapat menimbulkan macam-macam prilaku antara lain :
gangguan asosiasi, pembicaraan, austistik, perilaku kekanak-kanakan dan gejala katatonik lainnya.
Pasien mula-mula merasa
rendah dirinya, tidak berharga lagi dan tidak berguna sehingga tidak aman dalam
membina hubungan dengan orang lain, pasien dengan prilaku menarik diri biasanya
berasal dari keluarga yang penuh permasalahan, ketengangan dan kecemasan yang
tidak menjamin / mengembangkan kehangatan
emosional dalam hubungan yang
positif dengan orang lain. Akibatnya pasien tak dapat membantu kuantitas diri, penghayatan diri dan kurang mampu
mengembangkan dan mempelajari cara berhubungan dengan orang lain yang
dapat menumbuhkan rasa aman pada pasien dan prilaku menarik
diri, keadaan ini terjadi karena pada masa perkembangan sebelumnya pasien tidak
dapat mengidentifikasi dari orang tua jenis yang sama, sehingga pasien merasa
takut tak di terima bila mencintai orang lain. Pasien memerlukan usaha-usaha
melindungi diri. Sehingga ia merasa pasif dan berkepribadian kaku, pasien tak
mau mencari penyebab dan berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan, tetapi ia
mengembangkan rasionalisasi dan menghamburkan realitas.
B.
ETIOLOGI
Isolasi social disebabkan oleh beberapa
factor, seperti : Pola asuh keluarga, koping individu tidak efektif, gangguan
tugas perkembangan, stress internal dan eksternal mengakibatkan harga diri
rendah kronis yang berakhir dengan isolasi sosial (Yosep, 2007).
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah
harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana
gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri
sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan
individu tidak percaya diri, tidak percaya pada diri orang lain, ragu, takut
salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindari
orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini
dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan kegiatan
sendiri terabaikan.
C.
PSIKOPATOLOGI
Klien dengan perilaku menarik diri dapat
berakibat adanya terjadinya resiko perubahan sensori persepsi (halusinasi).
Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang maladaptive, dimana
halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata,
artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/
rangsangan eksternal.
D.
FAKTOR PREDISPOSISI
Berbagai faktor
bisa menimbulkan respon sosial yang maladaptif. Walaupun banyak penelitian
telah dilakukan pada gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal, tapi
belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan ini. Mungkin
saja disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor. Faktor yang mungkin
mempengaruhi termasuk:
1.
Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian
tugas perkembangan akan mencetuskan seseorang sehingga mempunyai masalah
respons sosial maladaptif. Sistem keluarga yang terganggu dapat menunjang
perkembangan respons sosial maladaptif. Beberapa orang percaya bahwa individu
yang mempunyai masalah ini adalah orang yang tidak berhasil memisahkan dirinya
dari orangtuanya. Norma keluarga mungkin tidak mendukung hubungan keluarga
dengan pihak lain diluar keluarga. Peran
keluarga seringkali tidak jelas. Orang tua pecandu alkohol dan penganiaya anak
juga dapat mempengaruhi seseorang berespons sosial maladaptif.
2.
Faktor biologik
Faktor genetik dapat menunjang
terhadap respons sosial maladaptif. Ada bukti terdahulu tentang terlibatnya
neurotransmiter dalam perkembangan gangguan ini, namum tetap masih diperlukan
penelitian lebih lanjut.
3.
Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor
dalam gangguan berhubungan. Ini akibat dari norma yang tidak mendukung
pendekatan terhadap orang lain; atau tidak menghargai anggota masyarakat yang
tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan penyakit kronik. Isolasi dapat
terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan sistem nilai yang berbeda dari
kelompok budaya mayoritas. Harapan yang tidak realistik terhadap hubungan
merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini (Stuart dan Sundeen,
1998).
E.
FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi dari faktor
sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga dan berpisah karena
meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang terdekat atau
kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga
sehingga menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari
lingkungan (Stuart and Sundeen, 1995).
Tingkat kecemasan yang
berat dapat menyebabkan menurunnya kemampuan individual menagatasi masalah,
diyakini akan menimbulkan berbagai masalah/ ancaman gangguan berhubungan
tuntutan yang berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain yang
memenuhi kebutuhan yang ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tinggi.
Stress juga dapat ditimbulakan oleh menurunnya stabilitas unit kerja, berpisah
dari orang yang berarti dalam kehidupannya.
F.
RENTANG RESPON
Hubungan dengan orang
lain dan lingkungan sosial menimbulkan respons sosial pada individu. Rentang respons sosial individu berada dalam rentang
adaftif sampai maladaptif
Rentang Respons Neurobiologis (Stuart and Laraia, 2005 )
Pikiran logis Pikiran
kadang menyimpang Kelainan pikiran/delusi
Persepsi
akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten dengan
Reaksi emosional berlebihan
Gangguan pengalaman
atau kurang proses emosi
Perilaku sesuai Perilaku yang tak lazim Perilaku kacau
Hubungan
sosial Menarik diri Isolasi sosial
G.
TANDA DAN GEJALA
Menurut yosep (2007), tand dan gejala meliputi :
1.
Gejala subjektif
a.
Klien menceritakan perasaan kesepian atau
ditolak oleh orang lain.
b.
Klien merasa tidak aman berada dengan orang
lain.
c.
Respon verbal kurang dan sangat singkat
d.
Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti
dengan orang lain.
e.
Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan
waktu.
f.
Klien tidak mampu berkosentrasi dan
mengambil keputusan.
g.
Merasa tidak berguna.
h.
Merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup
i.
Klien merasa ditolak.
2.
Gejala objektif
a.
Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
b.
Tidak mengikuti kegiatan.
c.
Banyak berdiam diri dikamar.
d.
Menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan
orang terdekat.
e.
Tampak sedih ekspresi datar dan dangkal.
f.
Kontak mata kurang.
g.
Kurang spontan.
h.
Apatis.
i.
Ekspresi wajah kurang berseri.
j.
Tidak merawat diri.
k.
Mengisolasi diri.
l.
Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan
sekitarnya.
m.
Masukan makanan dan minuman terganggu.
n.
Retensi urine dan feses.
o.
Aktivitas menurun.
p.
Kurang energi.
q.
Rendah diri.
r.
Postur tubuh berubah, misal sikap fetus
(khususnya pada posisi tidur).
H.
PENGKAJIAN
Pengkajian terhadap
kondisi pasien diukur dengan RUFA, data dapat dikelompokkan berdasarkan rentang skore RUFA, yaitu; RUFA
1-10 : memerlukan tindakan intensif 1, RUFA 11-20 : memerlukan tindakan
intensif 2 RUFA 21-30 = memerlukan tindakan intensif 3
DOMAIN
|
RUFA 0-10
|
RUFA 11-20
|
RUFA 21-30
|
Respon terhadap lingkungan
|
Respon terhadap
lingkungan apatis
|
Respon terhadap
lingkungan apatis
|
Respon terhadap
lingkungan ada, tapi jarang
|
Respon motorik
|
Respon motorik
stupor kataton
|
Respon motorik
mulai ada pergerakan tubuh
|
Pergerakan tubuh lambat
|
Komunikasi dengan
orang lain
|
Tidak ada
|
Ada respon non
verbal
|
Respon verbal
seperlunya
|
Kemampuan
perawatan diri :
»
Makan dan minum
»
Berhias
»
Toileting
»
Kebersihan diri
|
Total care
»
Tidak mampu
»
Tidak mampu
»
Tidak mampu
»
Tidak mampu
|
Partial care
»
Dibantu
»
Dibantu
»
Dibantu
»
Dibantu
|
Minimal care
»
Dimotivasi
»
Dimotivasi
»
Dimotivasi
»
Dimotivasi
|
Afek
|
Datar
|
Tumpul
|
Tumpul
|
Kontak mata
|
Tidak ada
|
Ada, tapi jarang
|
Ada
|
I.
TREATMENT UNTUK PASIEN
1. Membina Hubungan Saling Percaya
Tindakan yang harus dilakukan dalam
membina hubungan saling percaya :
a.
Mengucapkan salam
setiap kali berinteraksi dengan pasien
b.
Berkenalan dengan
pasien: perkenalkan nama dan nama panggilan
yang Saudara sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien
c.
Menanyakan perasaan dan
keluhan pasien saat ini
d.
Buat kontrak asuhan:
apa yang Saudara akan lakukan bersama pasien, berapa lama akan dikerjakan, dan
tempatnya di mana
e.
Jelaskan bahwa Saudara
akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk kepentingan terapi
f.
Setiap saat tunjukkan
sikap empati terhadap pasien
g.
Penuhi kebutuhan dasar
pasien bila memungkinkan
Untuk membina
hubungan saling percaya pada pasien isolasi sosial kadang-kadang perlu waktu
yang tidak singkat. Untuk itu Saudara sebagai perawat harus konsisten bersikap
terapeutik kepada pasien. Selalu penuhi janji adalah salah satu upaya yang bisa
dilakukan. Pendekatan yang konsisten akan membuahkan hasil. Bila pasien sudah
percaya dengan Saudara maka apapun yang akan Saudara programkan pasien akan
mengikutinya.
2.
Membantu Pasien Menyadari Perilaku Isolasi Sosial
Mungkin perilaku isolasi sosial
yang pasien alami dianggap sebagai perilaku yang normal oleh pasien. Untuk itu
agar pasien menyadari bahwa perilaku tersebut perlu
diatasi maka hal yang pertama dilakukan adalah menyadarkan pasien bahwa isolasi
sosial merupakan masalah dan perlu diatasi. Berikut ini langkah-langkah
tindakan keperawatan yang dapat Saudara terapkan untuk menyadarkan pasien akan
masalah isolasi sosialnya:
a.
Tanyakan pendapat
pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain
b. Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin
berinteraksi dengan orang lain
c. Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak
teman dan bergaul akrab dengan mereka
d. Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri
dan tidak bergaul dengan orang lain
e.
Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien
3.
Melatih Pasien Berinteraksi dengan Orang Lain
Secara Bertahap
Saudara tidak mungkin secara drastis mengubah kebiasaan
pasien dalam berinteraksi dengan orang lain, karena kebiasaan tersebut telah
terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu Saudara dapat melatih pasien secara bertahap. Mula-mula
jalinlah hubungan yang betul-betul
saling percaya dengan pasien. Mungkin pasien hanya akan akrab dengan Saudara
pada awalnya, tetapi setelah itu Saudara harus membiasakan pasien untuk bisa
berinteraksi secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Secara rinci tahapan melatih pasien berinteraksi dapat
Saudara lakukan sebagai berikut:
a.
Jelaskan kepada klien
cara berinteraksi dengan orang lain
b.
Berikan contoh cara
berbicara dengan orang lain
c.
Beri kesempatan pasien
mempraktekkan cara berinteraksi dengan orang lain yang dilakukan di hadapan
Saudara
d. Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu
orang teman/anggota keluarga
e.
Bila pasien sudah
menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi dengan dua, tiga, empat orang dan seterusnya.
f.
Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh pasien.
g.
Siap mendengarkan
ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi dengan orang lain. Mungkin pasien
akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Beri dorongan terus menerus
agar pasien tetap semangat meningkatkan interaksinya.
J.
TINDAKAN KEPERAWATAN UNTUK KELUARGA
Keluarga
merupakan sistem pendukung utama bagi pasien untuk dapat mengatasi masalahnya
termasuk mengatasi masalah isolasi sosial ini. Hal ini mengingat keluargalah
yang akan bersama-sama dengan pasien sepanjang hari. Tahapan
melatih keluarga agar mampu merawat pasien isolasi sosial di rumah meliputi:
1.
Menjelaskan tentang:
a.
Masalah isolasi
sosial dan dampaknya pada pasien.
b. Penyebab isolasi sosial.
c. Sikap keluarga untuk membantu pasien mengatasi
isolasi sosialnya.
d. Pengobatan yang berkelanjutan dan mencegah putus
obat.
e. Tempat rujukan bertanya dan fasilitas kesehatan yang
tersedia bagi pasien
2.
Memperagakan cara
berkomunikasi dengan pasien
3. Memberi
kesempatan kepada keluarga untuk mempraktekkan cara berkomunikasi dengan pasien
Peran Serta Keluarga Dalam Merawat
Klien Dengan Isolasi
Sosial
1.
Memenuhi kebutuhan sehari-hari
2.
Bantu dan perhatikan pemenuhan kebersihan diri dan penampilan
3.
Latih kegiatan sehari-hari: makan sendiri,
cuci pakaian
4.
Bantu komunikasi yang teratur dengan bicara
jelas dan singkat
5.
Kontak / bicara secara teratur dan
pertahankan tatap mata saat bicara
6.
Lakukan sentuhan yang akrab
7.
Sabar, lembut, tidak terburu-buru
8.
Libatkan dalam kelompok dan beri kesempatan untuk nonton TV, baca Koran, dengar musik, sediakan
peralatan pribadi : tempat tidur, lemari pakaian, pertemuan keluarga
secara teratur.
No comments:
Post a Comment