BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Selama Dua Dasawarsa terakhir ini
telah terjadi transisi epidemiologi dan pergeseran beban penyakit terbanyak di
Indonesia yang cukup signifikan dari penyakit menular ke penyakit tidak
menular. Pada era tahun sembilan puluhan kasus ISPA, Tuberkulosis dan Diare
menempati urutan 3 besar. Namun pada era tahun 2010 sampai tahun 2015, bergeser
menjadi Stroke, Kecelakaan Lalu Lintas dan penyakit Jantung disusul Kanker dan
Diabetes melitus.
Diabetes melitus dikenal sebagai silent killer, karena sering tidak
disadari penyandangnya, dan saat diketahui sudah terjadi komplikasi.
Hiperglikemia yang terjadi dari waktu kewaktu dapat menyebabkan kerusakan
berbagai sistem tubuh, terutama syaraf dan pembuluh darah. Beberapa komplikasi
yang sering terjadi adalah meningkatnya penyakit jantung dan stroke, neuropati (kerusakan syaraf) dikaki yang
meningkatkan kejadian ulkus kaki dan bahkan keharusan untuk amputasi kaki,
retinopati diabetikum yang merupakan salah satu penyebab utama kebutaan yang
terjadi akibat kerusakan pembuluh darah kecil diretina. Diabetes merupakan
salah satu penyebab utama gagal ginjal, dan resiko utama kematian penderita
diabetes secara umum adalah dua kali lipat dibandingkan bukan penderita
diabetes.
Estimasi terakhir IDF (International Diabetes Federation) tahun
2013 terdapat 382 juta orang didunia yang hidup dengan diabetes. Diperkirakan
dari 382 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis, sehingga
terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa
pencegahan (Kemenkes RI, 2014).
Pasien diabetes sebenarnya relatif dapat hidup normal
asalkan mereka mengetahui dengan baik keadaan dan cara penatalaksanaan penyakit
yang dideritanya. Oleh karena itu, edukasi pasien amatlah perlu. Karena
kualitas hidup semua pasien diabetes sangat terpengaruh oleh banyaknya
komplikasi yang menimbulkan bahaya. Terlebih lagi, perlunya diet ketat dan
pengobatan terus-menerus menimbulkan pergulatan emosi yang terus-menerus pula,
bagi banyak pasien. Penyebab
kematian pada diabetes (urut frekuensi) adalah infark miokard, gagal ginjal,
stroke infeksi ketoasidosis koma hiperosmolar hipoglikemia.
B.
Tujuan Penulisan
1.
Memahami kasus
diabetes melitus
2.
Mengenal dan mengetahui
sindrom metabolik
3.
Menyelesaikan
kasus-kasus yang berkaitan dengan diabetes melitus
C.
Manfaat Penulisan
1.
Perawat dapat
memahami konsep dasar sistem endokrinologi.
2.
Perawat dapat
menerapkan konsep dan prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku, dan ilmu
kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer pada
penyakit diabetes meilitus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
Diabetes melitus adalah ganguuan metabilosme
yang di tandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang di sebabkan oleh penurunan
sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan
menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati
(Yuliana elin,2009).
Diabetes mellitus adalah gangguan
metabolisme yang secara ginetis dan klinis termasuk heterogen dan manifestasi
berupa hilangnya toleransi karbohidrat, protein dan lemak. Jika telah berkembang
penuh secara klinis maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemi puasa
post dan pandrial, penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuro pati (Prince
& Wilson, 2006).
Diabetes melitus merupakan
sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam
darah atau hiperglikemia (Bare & Smeltzer, 2002).
B. Etiologi
Penyebab dari diabetes melitus tipe-II antara lain:
1.
Penurunan fungsi cell b pankreas
Penurunan fungsi cell b disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:
a)
Glukotoksisitas
Kadar glukosad arah yang berlangsung lama akan menyebabkan
peningkatan stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat peningkatan
apoptosis sel beta
b)
Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari
jaringan adiposa dalam proses lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif
menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis
c)
Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin
dihambat sehingga kadar glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan
berusaha mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi
hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi
amylin dari sel beta yang akan ditumpuk
disekitar sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta
itu sendiri sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi
berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
d)
Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta
dengan cara meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan
mengurangi apoptosis sel beta.
e)
Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah usia
30 tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus
meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi
glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun
mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai
dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan ahirnya pada tingkat
organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami
perubahan adalah sel beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel
jaringan terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang
mempengaruhi kadar glukosa.
f)
Genetik
2. Retensi
insulin
Penyebab
retensi insulin pada diabetes melitus tipe II sebenarnya tidak begitu jelas,
tapi faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
a)
Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel
)
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap
glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh
termasuk di otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b)
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c)
Kurang gerak badan
d)
Faktor keturunan ( herediter )
e)
Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya
sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal
medular dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan
diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing factor yang
menstimulasi pituitari anterior untuk
memproduksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa
darah (FKUI, 2011)
C. Faktor resiko
Berikut ini adalah faktor resiko
yang dapat terkena diabetes melitus tipe II, antara lain:
1.
Usia ≥ 45 tahun
2.
Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh
(IMT) >23 kg/m2 yang disertai dengan faktor resiko:
a)
Kebiasaan tidak aktif
b)
Turunan pertama dari orang tua dengan diabetes melitus
c)
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000
gram, atau riwayat diabetes melitus gestasional
d)
Hipertensi (≥140/90 mmHg)
e)
Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250
mg/dl
f)
Menderita polycyctic
ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan
resistensi insulin
g)
Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT)
atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
h)
Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
3.
Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
4.
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
5.
Kurang gerak badan
6.
Faktor genetik
7.
Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa
darah
8.
Stress (FKUI, 2011)
D.
Manifestasi
klinis diabetes melitus tipe-II
1.
Tanda dan gejala spesifik diabetes melitus tipe II,
antara lain:
a)
Penurunan penglihatan
b)
Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air
mengikuti glukosa dan keluar melalui urine.
c)
Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume
urineyang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel.
Dehidrasi intrasel mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi
keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi keplasma yang hipertonik
(konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi pengeluaran hormon anti
duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan rasa haus
d)
Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme
protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa
sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan
kelelahan
e)
Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan
pascaabsorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif
sel. Sering terjadi penurunan berat badan tanpa terapi
f)
Konfusi atau derajat delirium
g)
Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat
hipotonusitas lambung)
h)
Retinopati atau pembentukan katarak
i)
Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki
akibat kerusakan sirkulasi perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti
selulitis atau luka yang tidak kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran
mukosa kering akibat dehidrasi
j)
Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan
reflek, dan kemungkinan nyeri perifer atau kebas
k)
Hipotensi ortostatik (Jaime
StockslagerL dan Liz Schaeffer,2007)
2.
Tanda dan gejala non spesifik diabetes melitus tipe
II, antara lain:
a)
Peningkatan angka
infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus, gangguan
fungsi imun dan penurunan aliran darah
b)
Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan
keseimbangan air atau pada kasus yang berat terjadi kerusakan retina
c)
Paretesia atau abnormalitas sensasi
d)
Kandidiasis vagina (infeksi ragi), akibat peningkatan
kadar glukosa disekret vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun kandidiasis
dapat menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
e)
Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot
digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh
f)
Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut
yang ditandai penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di
pagi hari kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada
paginya. Penyebab hipoglikemia malam hari kemungkinan besar berkaitan dengan
penyuntikan insulin di sore harinya. Hipoglikemia itu sendiri kemudian
menyebabkan peningkatan glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya
terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi ditujukan untuk
memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga tidak
menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi efek somogyi.
Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak.
g)
Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia
pada pagi hari ( antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh
peningkatan sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini dapat
dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II. Hormone-hormon yang
memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari adalah kortisol dan hormon
pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang glukoneogenesis. Pada pengidap
diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di pagi hari, baik sebagai variasi sirkadian
normal maupun atau sebagai respons terhadap hormone pertumbuhan atau kortisol.
(Elizabeth J Corwin, 2009)
E.
Patofisiologi
diabetes melitus tipe-II
Patogenesis diabetes melitus Tipe II
ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan “hepatic glucose
production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke
kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi insulin yang kemudian
disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi retensi insulin
itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan
sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga kadar glukosa darah
meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah diagnosis diabetes
ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif
sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengsekresi insulin (FKUI, 2011)
Individu yang mengidap diabetes
melitus tipe II tetap menghasilkan insulin. Akan tetapi jarang terjadi
keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang di
lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring dengan bertambah usia
pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan
resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya pembawa
glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena sel
kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin
meningkatkan kadar glukosa darah serta mestimulasai penguraian simpanan
trigliserida, protein, dan glikogen untuk mengahasilkan sumber bahan bakar
alternative, sehingga meningkatkan zat- zat ini didalam darah. Hanya sel-sel
otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa sebagai sumber energy
yang efektif . Karena masih terdapa insulin , individu dengan diabetes melitus
tipe II jarang mengandalkan asam lemak
untuk menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth J Corwin, 2009)
F.
Komplikasi diabetes melitus tipe-II
Menurut Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, (2007) menyatakan beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat
diabetes melitus tipe II, antara lain:
1. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita
diabetes yang di obati dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal
ini mungkin di sebabkan oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori
yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala
hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak
disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
2. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi
pada lansia dengan diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada
individu yang menderita diabetes Tipe-II yang mengalami stress fisik dan
emosional yang ekstrim.
3.
Sindrom
nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar
hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat
pada pasien yang menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di
tandai dengan hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl),
hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis
osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru
diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran
(biasanya koma atau hampir koma).
4.
Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat
menyebabkan kebas atau nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga
bermanifestasi dalam berbagai cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan
pengosongan lambung yang menyebabkan
perasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi
ortostatik.
5.
Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki
insidens hipertensi 10 kali lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak
menderita diabetes. Hasil ini lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan
penyakit serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan infark miokard,
aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati progresif,
kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf pusat.
6.
Infeksi kulit
Hiperglikemia
merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan glukosa epidermis
dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan terhadap
infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis.
G.
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
penunjang DM Tipe II antara lain:
1.
Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah
biasa atau plasma. Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat
langsung dan dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia.
Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan glukometer lebih baik daripada
kasat mata karena informasi yang diberikan lebih objektif kuantitatif. (FKUI, 2011)
2.
Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar
glukosa darah secara tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang
ginjal yang bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak
memberikan informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat
membedakan normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2011)
3.
Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi
Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi,
pada lansia, pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan
toleransi glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin
memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami hiperglikemia
berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari tiga
kriteria berikut ini terpenuhi:
a)
Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih
tinggi.
b)
Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih
tinggi.
c)
Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per
oral 200 mg/dl atau lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
4.
Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A
atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3
bulan sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi
antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah
ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager L dan
Liz Schaeffer, 2007)
5.
Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2
sampai 3 minggu sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia
karena kurang menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil
sehingga jarang dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan
dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan anemia
hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
6.
Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang
hormone insulin menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy.
Keton urin dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda
keton dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI, 2011)
7.
Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat
secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu
terakhir. Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl
selama 8-10 minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan
AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam setahun.
(FKUI, 2011)
8.
Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang diabetes
melitus mengenai kendali glikemik dari hari-kehari sehingga memungkinkan klien
melakukan penyesuaian diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani
dan aktivitas lain. PKGS memberikan feedback
cepat kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari. (FKUI, 2011)
9.
Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal (yang
berhubungan dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui
kendali glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi
secara subkutan, konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa.
Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi
dan hiperglikemi. (FKUI, 2011)
H.
Penatalaksanaan
Menurut Smatzler
& Bare (2002), terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes
melitus yaitu :
1.
Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan
diabetes melitus memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan kontrol
metabolisme yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
a.
Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal
dengan keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat
hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
b.
Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
c.
Memberikan energi yang cukup untuk dapat mencapai atau
mempertahankan berat badan yang memadai pada orang dewasa, mencapai pertumbuhan
dan perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan kebutuhan
metabolic selama kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari penyakit
metabolik.
d.
Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
e.
Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan
diabetes yang menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek,
komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati
autonomic dan penyakit jantung
f.
Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi
yang optimal.
Kebutuhan zat gizi penderita
diabetes melitus tipe II antara lain:
a.
Protein
Menurut consensus pengelolaan diabetes di Indonesia
tahun 2006, Kebutuhan protein untuk penyandang diabetes sebesar 10-20% energi dari protein total.
b.
Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energi dari lemak
jenuh dan tidak lebih 10% energy dari lemak titk jenuh ganda, sedangkan
selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Anjuran asupan lemak di Indonesia
adalah 20-25% energi.
c.
Lemak jenuh dan kolesterol
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan
kolesterol adalah untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena
itu <7% asupan energy sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan
kolesterol makanan tidak lebih dari 300mg per hari.
d.
Karbohidrat dan pemanis
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk
penderita diabetes di Indonesia adalah 45-65% energy.
1)
Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa
bagian dari perencanaan makan tidak memperburuk control glukosa darah pada
individu dengan diabetes.
2)
Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada
sukrosa dan kebanyakan karbohidrat jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame,
acesulfame K adalah pemanis tak bergizi yang dapat di terima sebagai pemanis
pada semua penderita diabetes melitus.
e.
Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan
diabetessama dengan untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan
mengkonnsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai sumber makanan. Di Indonesia
anjurannya adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari dengan mengutamakan serat
larut
f.
Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa
yaitu tidak lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi penderita hipertensi ringan
sampai sedang di anjurkan 2400 mg natrium perhari.
g.
Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai
bagian dari asupan kalori total dan sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol =
2 penukar lemak)
h.
Mikronutrien: vitamin dan mineral
Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu
menambah suplemen vitamin dan mineral. Walaupun ada alasan teoritis untuk
memberikan suplemen antioksidan pada saat ini hanya sedikit bukti yang
menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.(FKUI, 2011)
2.
Latihan fisik
Latihan
fisik sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat
menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler.
Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan
glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin (Smeltzer & Bare,
2002).
3.
Pemantauan glukosa dan keton
Pemantauan KGD merupakan prosedur
yang berguna bagi semua penderita diabetes. Pemantauan ini merupakan dasar
untuk melaksanakan terapi insulin yang intensif, dan untuk menangani kehamilan
yang dipersulit oleh penyakit diabetes. Pemeriksaan ini juga sangat dianjurkan
bagi pasien-pasien dengan penyakit diabetes yang tidak stabil, kecenderungan
untuk mengalami ketosis berat atau hipoglikemia, hipoglikemia tanpa gejala
peringatan, dan ambang glukosa renal yang abnormal (Smeltzer & Bare, 2002).
4.
Penatalaksanaan Medis (Terapi)
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
a.
Obat Hipoglikemik Oral
1)
Pemicu sekresi insulin
a)
Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu
memperbaiki sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata obat
ini tidak bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat
ini antara lain:
-
Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan (Stored
insulin)
-
Menurunkan ambang sekresi insulin
-
Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa (FKUI, 2011)
b)
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu:
Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat
ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati.(FKUI, 2011)
2)
Penambah sensitivitas terhadap insulin
a)
Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah
metformin. Etformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
insulin pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada
efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorbsi
glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan (FKUI,2011)
b)
Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai
efek farmakologis meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja
meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa
dihati.(FKUI, 2011)
3)
Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja
enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen
usus dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar
insulin.(FKUI, 2011)
4)
Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan
penekanan terhadap sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar
glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)
b.
Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang
diproduksi oleh sel beta dari pulau Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin
dibentuk dari proinsulin yang bila kemudian distimulasi, terutama oleh
peningkatan kadar glukosa darah akan terbelah untuk menghasilkan insulin dan
peptide penghubung (C-peptide) yang masuk kedalam aliran darah dalam jumlah
ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25%
pasien diabetes melitus tipe II akan memerlukan insulin untuk mengendalikan
kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II tertentu akan butuh insulin bila:
1)
Terapi jenis lain tida dapat mencapai target
pengendalian kadar glukosa darah
2)
Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat,
tindakan pembedahan, infark miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain
insulin menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan
mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan
glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai sumber energi dan membantu
penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati (FKUI, 2011)
5.
Pendidikan kesehatan
Diabetes melitus merupakan yang
memerlukan perilaku penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Karena diet,
aktifitas fisik dan stress fisik serta emosional dapat mempengaruhi
pengendalian diabetes. Pasien bukan hanya harus belajar keterampilan untuk
merawat diri sendiri setiap hari guna
menghindari penurunan atau kenaikan KGD yang mendadak, tetapi juga harus
memiliki perilakupreventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi
diabetik jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2002).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Konsep Dasar Asuhan
Keperawatan
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses
terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien dan
keluarga, untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dalam melakukan proses
terapeutik maka perawat melakukan metode ilmiah yaitu proses keperawatan.
Proses keperawatan merupakan tindakan yang berurutan yang dilakukan secara
sistematis dengan latar belakang pengetahuan komprehensif untuk mengkaji status
kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa, merencanakan intervensi
mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi rencana sehubungan dengan proses
keperawatan pada klien dengan gangguan sistem endokrin.
B.
Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin
diabetes mellitus dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata,
riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu,
pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari. Hal yang perlu dikaji pada klien
degan diabetes mellitus :
1.
Aktivitas dan istirahat
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot,
gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan
aktivitas dan koma.
2.
Sirkulasi
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung.
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung.
3.
Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
4.
Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
5.
Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
6.
Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
Pembengkakan perut, meringis.
7.
Respirasi
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
8.
Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
9.
Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria.
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria.
C.
Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering
terjadi berdasarkan teori, maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
klien diabetes mellitus yaitu :
1.
Kekurangan volume
cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
2.
Perubahan status
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin,
penurunan masukan oral.
3.
Resiko infeksi berhubungan
dengan hyperglikemia.
4.
Resiko tinggi
terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan
glukosa/insulin dan atau elektrolit.
5.
Kelelahan berhubungan
dengan penurunan produksi energi metabolik.
6.
Ketidakberdayaan
berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati,
ketergantungan pada orang lain.
7.
Kurang pengetahuan
tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.
D. Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan/Kriteria Hasil
|
Intervensi Keperawatan
|
Rasionalisasi
|
Kekurangan
volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik
|
Mendemonstrasikan
hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat
diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urine tepat secara
individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal
|
1. Pantau
tanda-tanda vital
2. Kaji
nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa
3. Pantau
masukan dan keluaran, catat berat jenis urine
4. Timbang
berat badan setiap hari
5. Berikan
terapi cairan sesuai indikasi
|
1. Hypovolemia
dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
2. Merupakan
indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat
3. Memberikan
perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan
dari terapi yang diberikan
4. Memberikan
hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan
selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
5. Tipe
dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respons
pasien secara individual
|
Perubahan
status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan
insulin, penurunan masukan oral
|
Mencerna
jumlah kalori/nutrien yang tepat. Menunjukkan tingkat energi biasanya. Berat
badan stabil atau bertambah
|
1. Tentukan
program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat
dihabiskan oleh pasien.
2. Timbang
berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
3. Identifikasi
makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan etnik/kultural
4. Libatkan
keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi
5. Berikan
pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi
|
1. Mengidentifikasi
kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
2. Mengkaji
pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorbsi dan utilisasinya).
3. Jika
makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan,
kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang
4. Meningkatkan
rasa keterlibatannya; memberikan informasi pada keluarga untuk memahami
nutrisi pasien
5. Insulin
reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu
memindahkan glukosa ke dalam sel
|
Resiko
infeksi berhubungan dengan hyperglikemia
|
Mengidentifikasi
intervensi untuk mencegah menurunkan resiko infeksi. Mendemonstrasikan
teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
|
1. Observasi
tanda-tanda infeksi dan peradangan.
2. Tingkatkan
upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua
orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
3. Pertahankan
teknik aseptik pada prosedur invasif
4. Berikan
perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh
5. Lakukan
perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam
|
1. Pasien
mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan
ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial
2. Mencegah
timbulnya infeksi silang
3. Kadar
glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan
kuman
4. Sirkulasi
perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan resiko
terjadinya kerusakan pada kulit/iritasi kulit dan infeksi
5. Membantu
dalam memventilasi semua daerah paru dan memobilisasi sekret.
|
Resiko
tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit
|
Mempertahankan
tingkat kesadaran/orientasi. Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan
sensori
|
1. Pantau
tanda-tanda vital dan status mental
2. Panggil
pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.
3. Pelihara
aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan
sehari-hari sesuai kemampuannya
4. Selidiki
adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki
|
1. Sebagai
dasar untuk membandingkan temuan abnormal
2. Menurunkan
kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas
3. Membantu
memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan
orientasi pada lingkungannya
4. Neuropati
perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat, kehilangan sensasi
sentuhan/distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan
gangguan keseimbangan
|
Kelelahan
berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik
|
Mengungkapkan
peningkatan tingkat energi. Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
|
1.
Diskusikan dengan
pasien kebutuhan akan aktivitas
2.
Berikan aktivitas
alternatif dengan periode istirahat yang cukup
3.
Pantau nadi,
frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas
4.
Tingkatkan
partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi.
|
1.
Pendidikan dapat
memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien
mungkin sangat lemah
2.
Mencegah kelelahan
yang berlebihan
3.
Mengindikasikan
tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
4.
Meningkatkan
kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat
ditoleransi
|
Ketidakberdayaan
berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat
diobati, ketergantungan pada orang lain
|
Mengakui
perasaan putus asa. Mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi
perasaan. Membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri
mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri
|
1.
Anjurkan pasien/keluarga
untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah sakit dan
penyakitnya secara keseluruhan
2.
Tentukan
tujuan/harapan dari pasien atau keluarga
3.
Berikan dukungan
pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan
berikan umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya
4.
Berikan dukungan
pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri.
|
1.
Mengidentifikasi
area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan masalah.
2.
Harapan yang tidak
realistis atau adanya tekanan dari orang lain atau diri sendiri dapat
mengakibatkan perasaan frustasi.kehilangan kontrol diri dan mungkin
mengganggu kemampuan koping
3.
Meningkatkan
perasaan kontrol terhadap situasi.
4.
Meningkatkan
perasaan kontrol terhadap situasi
|
Kurang
pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi.
|
Mengungkapkan
pemahaman tentang penyakit. Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses
penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab. Dengan benar
melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan
|
1.
Ciptakan lingkungan
saling percaya
2.
Diskusikan dengan
klien tentang penyakitnya
3.
Diskusikan tentang
rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat
4.
Diskusikan
pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan
pasien/orang terdekat.
|
1.
Menanggapai dan
memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia mengambil bagian dalam
proses belajar
2.
Memberikan
pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya
hidup
3.
Kesadaran tentang
pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan
makan/mentaati program
4.
Membantu untuk
mengontrol proses penyakit dengan lebih ketat
|
DAFTAR PUSTAKA
Corwin Elizabeth J, (2009). Buku
Saku Patofisologi, Alih Bahasa James Veldan, Editor Bahasa Indonesia Egi
Komara Yuda et al. Jakarta : EGC
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2011). Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Kemenkes, RI. (2014), Waspada Diabetes Eat Well Live Well Situasi
dan Analisis Diabetes. Jakarta: Pusat Data Informasi Kementerian Kesehatan
RI
Price, Sylvia Anderson,
Lorraine Mc Carty, (2006). Patologi
Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Ed.6, volume 1&2, Jakarta: EGC
Ranitya, R. dkk. (2011). Naskah Lengkap Penyakit Dalam. Jakarta :
FKUI
Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer .2007. Asuhan Keperawatan Geriatric. Jakarta:EGC.
Soegondo, S.,
(2006), Farmakologi pada pengendalian
glikemia diabetes mellitus tipe 2, dalam Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
(3rd Ed.). Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Penyakit Dalam FKUI
Wahdah, Nurul. (2011), .Menaklukan Hipertensi dan Diabetes. Yogyakarta: Multipress.
Yuliana elin, Andradjati
Retnosari, dkk. (2011). ISO Farmakoterapi 2. Jakarta: ISFI
No comments:
Post a Comment