Friday, October 20, 2017

Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Selama Dua Dasawarsa terakhir ini telah terjadi transisi epidemiologi dan pergeseran beban penyakit terbanyak di Indonesia yang cukup signifikan dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Pada era tahun sembilan puluhan kasus ISPA, Tuberkulosis dan Diare menempati urutan 3 besar. Namun pada era tahun 2010 sampai tahun 2015, bergeser menjadi Stroke, Kecelakaan Lalu Lintas dan penyakit Jantung disusul Kanker dan Diabetes melitus.
Diabetes melitus dikenal sebagai silent killer, karena sering tidak disadari penyandangnya, dan saat diketahui sudah terjadi komplikasi. Hiperglikemia yang terjadi dari waktu kewaktu dapat menyebabkan kerusakan berbagai sistem tubuh, terutama syaraf dan pembuluh darah. Beberapa komplikasi yang sering terjadi adalah meningkatnya penyakit jantung dan stroke, neuropati (kerusakan syaraf) dikaki yang meningkatkan kejadian ulkus kaki dan bahkan keharusan untuk amputasi kaki, retinopati diabetikum yang merupakan salah satu penyebab utama kebutaan yang terjadi akibat kerusakan pembuluh darah kecil diretina. Diabetes merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal, dan resiko utama kematian penderita diabetes secara umum adalah dua kali lipat dibandingkan bukan penderita diabetes.
Estimasi terakhir IDF (International Diabetes Federation) tahun 2013 terdapat 382 juta orang didunia yang hidup dengan diabetes. Diperkirakan dari 382 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis, sehingga terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan (Kemenkes RI, 2014).
Pasien diabetes sebenarnya relatif dapat hidup normal asalkan mereka mengetahui dengan baik keadaan dan cara penatalaksanaan penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu, edukasi pasien amatlah perlu. Karena kualitas hidup semua pasien diabetes sangat terpengaruh oleh banyaknya komplikasi yang menimbulkan bahaya. Terlebih lagi, perlunya diet ketat dan pengobatan terus-menerus menimbulkan pergulatan emosi yang terus-menerus pula, bagi banyak pasien. Penyebab kematian pada diabetes (urut frekuensi) adalah infark miokard, gagal ginjal, stroke infeksi ketoasidosis koma hiperosmolar hipoglikemia.
B.     Tujuan Penulisan
1.      Memahami kasus diabetes melitus
2.      Mengenal dan mengetahui sindrom metabolik
3.      Menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan diabetes melitus
C.     Manfaat Penulisan
1.      Perawat dapat memahami konsep dasar sistem endokrinologi.
2.      Perawat dapat menerapkan konsep dan prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer pada penyakit diabetes meilitus.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Definisi
Diabetes melitus adalah ganguuan metabilosme yang di tandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang di sebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Yuliana elin,2009).
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara ginetis dan klinis termasuk heterogen dan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, protein dan lemak. Jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemi puasa post dan pandrial, penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuro pati (Prince & Wilson, 2006).
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Bare & Smeltzer, 2002).
B.     Etiologi
Penyebab dari diabetes melitus tipe-II antara lain:
1.      Penurunan fungsi cell b pankreas
Penurunan fungsi cell b disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:



a)      Glukotoksisitas
Kadar glukosad arah yang berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta
b)      Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis
c)      Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari  sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
d)     Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta.
e)      Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah  usia 30 tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
f)       Genetik
2.      Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada diabetes melitus tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
a)      Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b)      Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c)      Kurang gerak badan
d)     Faktor keturunan ( herediter )
e)      Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing factor yang menstimulasi pituitari anterior untuk  memproduksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)
C.    Faktor resiko
Berikut ini adalah faktor resiko yang dapat terkena diabetes melitus tipe II, antara lain:
1.      Usia ≥ 45 tahun
2.      Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2 yang disertai dengan faktor resiko:
a)      Kebiasaan tidak aktif
b)      Turunan pertama dari orang tua dengan diabetes melitus
c)      Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat diabetes melitus gestasional
d)     Hipertensi (≥140/90 mmHg)
e)      Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
f)       Menderita polycyctic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
g)      Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
h)      Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
3.      Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
4.      Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
5.      Kurang gerak badan
6.      Faktor genetik
7.      Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa darah
8.      Stress (FKUI, 2011)
D.    Manifestasi klinis diabetes melitus tipe-II
1.      Tanda dan gejala spesifik diabetes melitus tipe II, antara lain:
a)      Penurunan penglihatan
b)      Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan keluar melalui urine.
c)      Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi keplasma yang hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan rasa haus
d)     Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan kelelahan
e)      Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi penurunan berat badan tanpa terapi
f)       Konfusi atau derajat delirium
g)      Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
h)      Retinopati atau pembentukan katarak
i)        Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat dehidrasi
j)        Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri perifer atau kebas
k)       Hipotensi ortostatik (Jaime StockslagerL dan Liz Schaeffer,2007)
2.      Tanda dan gejala non spesifik diabetes melitus tipe II, antara lain:
a)      Peningkatan angka  infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
b)      Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau pada kasus yang berat terjadi kerusakan retina
c)      Paretesia atau abnormalitas sensasi
d)     Kandidiasis vagina (infeksi ragi), akibat peningkatan kadar glukosa disekret vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun kandidiasis dapat menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
e)      Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh
f)       Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya. Penyebab hipoglikemia malam hari kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin di sore harinya. Hipoglikemia itu sendiri kemudian menyebabkan peningkatan glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi ditujukan untuk memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi efek somogyi. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak.
g)      Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari ( antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini dapat dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II. Hormone-hormon yang memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari adalah kortisol dan hormon pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang glukoneogenesis. Pada pengidap diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di pagi hari, baik sebagai variasi sirkadian normal maupun atau sebagai respons terhadap hormone pertumbuhan atau kortisol. (Elizabeth J Corwin, 2009)
E.     Patofisiologi diabetes melitus tipe-II
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengsekresi insulin (FKUI, 2011)
Individu yang mengidap diabetes melitus tipe II tetap menghasilkan insulin. Akan tetapi jarang terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang di lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring dengan bertambah usia pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya pembawa glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena sel kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin meningkatkan kadar glukosa darah serta mestimulasai penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen untuk mengahasilkan sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan zat- zat ini didalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih terdapa insulin , individu dengan diabetes melitus tipe II  jarang mengandalkan asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth J Corwin, 2009)
F.     Komplikasi diabetes melitus tipe-II
Menurut Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, (2007) menyatakan beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat diabetes melitus tipe II, antara lain:
1.      Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
2.      Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita diabetes Tipe-II yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
3.      Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
4.      Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagai cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan  lambung yang menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
5.      Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf pusat.
6.      Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis.
G.    Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
1.      Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma. Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi yang diberikan lebih objektif kuantitatif. (FKUI, 2011)
2.      Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah secara tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2011)
3.      Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia, pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
a)      Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
b)      Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
c)      Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
4.      Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
5.      Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
6.      Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI, 2011)
7.      Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam setahun. (FKUI, 2011)
8.      Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang diabetes melitus mengenai kendali glikemik dari hari-kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari. (FKUI, 2011)
9.      Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal (yang berhubungan dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan, konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi. (FKUI, 2011)
H.    Penatalaksanaan
Menurut Smatzler & Bare (2002), terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes melitus yaitu :
1.      Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes melitus memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan kontrol metabolisme yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
a.         Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
b.         Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
c.         Memberikan energi yang cukup untuk dapat mencapai atau mempertahankan berat badan yang memadai pada orang dewasa, mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari penyakit metabolik.
d.        Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
e.         Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek, komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati autonomic dan penyakit jantung
f.         Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Kebutuhan zat gizi penderita  diabetes melitus tipe II antara lain:
a.         Protein
Menurut consensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006, Kebutuhan protein untuk penyandang diabetes sebesar  10-20% energi dari protein total.
b.         Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energi dari lemak jenuh dan tidak lebih 10% energy dari lemak titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20-25% energi.
c.         Lemak jenuh dan kolesterol
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol adalah untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu <7% asupan energy sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan kolesterol makanan tidak lebih dari 300mg per hari.
d.        Karbohidrat dan pemanis
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk penderita diabetes di Indonesia adalah 45-65% energy.


1)      Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari perencanaan makan tidak memperburuk control glukosa darah pada individu dengan diabetes.
2)      Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa dan kebanyakan karbohidrat jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame, acesulfame K adalah pemanis tak bergizi yang dapat di terima sebagai pemanis pada semua penderita diabetes melitus.
e.       Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai sumber makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari dengan mengutamakan serat larut
f.       Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi penderita hipertensi ringan sampai sedang di anjurkan 2400 mg natrium perhari.
g.      Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari asupan kalori total dan sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2 penukar lemak)
h.      Mikronutrien: vitamin dan mineral
Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu menambah suplemen vitamin dan mineral. Walaupun ada alasan teoritis untuk memberikan suplemen antioksidan pada saat ini hanya sedikit bukti yang menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.(FKUI, 2011)
2.      Latihan fisik
Latihan fisik sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin (Smeltzer & Bare, 2002).
3.      Pemantauan glukosa dan keton
Pemantauan KGD merupakan prosedur yang berguna bagi semua penderita diabetes. Pemantauan ini merupakan dasar untuk melaksanakan terapi insulin yang intensif, dan untuk menangani kehamilan yang dipersulit oleh penyakit diabetes. Pemeriksaan ini juga sangat dianjurkan bagi pasien-pasien dengan penyakit diabetes yang tidak stabil, kecenderungan untuk mengalami ketosis berat atau hipoglikemia, hipoglikemia tanpa gejala peringatan, dan ambang glukosa renal yang abnormal (Smeltzer & Bare, 2002).
4.      Penatalaksanaan Medis (Terapi)
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
a.       Obat Hipoglikemik Oral
1)      Pemicu sekresi insulin
a)      Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat ini antara lain:
-        Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan (Stored insulin)
-        Menurunkan ambang sekresi insulin
-        Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa (FKUI, 2011)
b)      Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2  macam obat yaitu: Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.(FKUI, 2011)
2)      Penambah sensitivitas terhadap insulin
a)      Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Etformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan (FKUI,2011)
b)      Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa dihati.(FKUI, 2011)
3)      Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
4)      Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)


b.      Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide) yang masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien diabetes melitus tipe II akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II tertentu akan butuh insulin bila:
1)      Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah
2)      Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati (FKUI, 2011)
5.      Pendidikan kesehatan
Diabetes melitus merupakan yang memerlukan perilaku penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Karena diet, aktifitas fisik dan stress fisik serta emosional dapat mempengaruhi pengendalian diabetes. Pasien bukan hanya harus belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna  menghindari penurunan atau kenaikan KGD yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilakupreventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2002).


















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien dan keluarga, untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dalam melakukan proses terapeutik maka perawat melakukan metode ilmiah yaitu proses keperawatan. Proses keperawatan merupakan tindakan yang berurutan yang dilakukan secara sistematis dengan latar belakang pengetahuan komprehensif untuk mengkaji status kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa, merencanakan intervensi mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi rencana sehubungan dengan proses keperawatan pada klien dengan gangguan sistem endokrin.
B.     Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin diabetes mellitus dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari. Hal yang perlu dikaji pada klien degan diabetes mellitus :
1.      Aktivitas dan istirahat
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
2.      Sirkulasi
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung.
3.      Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
4.      Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
5.      Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
6.      Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
7.      Respirasi
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
8.      Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
9.      Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria.
C.     Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan teori, maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien diabetes mellitus yaitu :
1.      Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
2.      Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
3.      Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
4.      Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
5.      Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
6.      Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
7.      Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.
D.    Rencana Keperawatan

Diagnosa Keperawatan
Tujuan/Kriteria Hasil
Intervensi Keperawatan
Rasionalisasi
Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik
Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urine tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal
1.    Pantau tanda-tanda vital


2.    Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa
3.    Pantau masukan dan keluaran, catat berat jenis urine


4.    Timbang berat badan setiap hari





5.    Berikan terapi cairan sesuai indikasi

1. Hypovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
2. Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat
3. Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan
4. Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
5. Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respons pasien secara individual


Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral
Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat. Menunjukkan tingkat energi biasanya. Berat badan stabil atau bertambah
1.   Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien.

2.   Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.

3.   Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan etnik/kultural


4.   Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi


5.   Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi


1.   Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.


2.   Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorbsi dan utilisasinya).
3.   Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang
4.   Meningkatkan rasa keterlibatannya; memberikan informasi pada keluarga untuk memahami nutrisi pasien
5.   Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan glukosa ke dalam sel

Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah menurunkan resiko infeksi. Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.

1.   Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.





2.   Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
3.   Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif


4.   Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh





5.   Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam
1.   Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial
2.   Mencegah timbulnya infeksi silang






3.   Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman
4.   Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada kulit/iritasi kulit dan infeksi
5.   Membantu dalam memventilasi semua daerah paru dan memobilisasi sekret.

Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit
Mempertahankan tingkat kesadaran/orientasi. Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori
1.   Pantau tanda-tanda vital dan status mental

2.   Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.

3.   Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya


4.   Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki

1.   Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal
2.   Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas
3.   Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungannya

4.   Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat, kehilangan sensasi sentuhan/distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan
Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik
Mengungkapkan peningkatan tingkat energi. Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
1.    Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas



2.    Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup
3.    Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas


4.    Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi.
1.    Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah
2.    Mencegah kelelahan yang berlebihan


3.    Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.


4.    Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi

Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain
Mengakui perasaan putus asa. Mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan. Membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri
1.    Anjurkan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan

2.    Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga







3.    Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya
4.    Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri.

1.    Mengidentifikasi area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan masalah.




2.    Harapan yang tidak realistis atau adanya tekanan dari orang lain atau diri sendiri dapat mengakibatkan perasaan frustasi.kehilangan kontrol diri dan mungkin mengganggu kemampuan koping
3.    Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.





4.    Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi

Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi.
Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit. Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab. Dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan
1.    Ciptakan lingkungan saling percaya




2.    Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya



3.    Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat


4.    Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan pasien/orang terdekat.
1.    Menanggapai dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia mengambil bagian dalam proses belajar
2.    Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya hidup
3.    Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan makan/mentaati program
4.    Membantu untuk mengontrol proses penyakit dengan lebih ketat



 DAFTAR PUSTAKA
Corwin Elizabeth J, (2009). Buku Saku Patofisologi, Alih Bahasa James Veldan, Editor Bahasa Indonesia Egi Komara Yuda et al. Jakarta : EGC
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2011). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Kemenkes, RI. (2014), Waspada Diabetes Eat Well Live Well Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Pusat Data Informasi Kementerian Kesehatan RI
Price, Sylvia Anderson, Lorraine Mc Carty, (2006). Patologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Ed.6, volume 1&2, Jakarta: EGC
Ranitya, R. dkk. (2011). Naskah Lengkap Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer .2007. Asuhan Keperawatan Geriatric. Jakarta:EGC.
Soegondo, S., (2006), Farmakologi pada pengendalian glikemia diabetes mellitus tipe 2, dalam Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (3rd Ed.). Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Penyakit Dalam FKUI
Wahdah, Nurul. (2011), .Menaklukan Hipertensi dan Diabetes. Yogyakarta: Multipress.
Yuliana elin, Andradjati Retnosari, dkk. (2011). ISO Farmakoterapi 2. Jakarta: ISFI























No comments:

Post a Comment

Featured Post

kejang demam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga. Selain sebagai penerus keturun...